Sunday, May 13, 2007

MEMEDULIKAN KORBAN LAPINDO

(Dimuat di Koran Sindo, 28 Maret 2007)

Prasetyo


Sudah menjelang sepuluh bulan lumpur Lapindo menyembur. Namun, penyelesaian kasus ini belum menemui titik temu. Hari demi hari masih diwarnai kegamangan hubungan antara negara (state), Lapindo (corporate), dan rakyat Porong (civil society).

Semestinya kegamangan tak perlu terjadi, andaikan ketiga aktor di atas mau memahami duduk perkara yang sebenarnya. Seperti kita ketahui, Lapindo terbukti bersalah dan bertanggung jawab atas dampak yang diakibatkan semburan lumpur. Kerusakan infrastruktur seperti jalan tol, jalan provinsi, rel kereta api, sekolah, dll, serta kerugian warga Porong adalah tanggung jawab Lapindo. Sedang, negara berkewajiban dan bertanggung jawab melindungi dan membela hak-hak korban.

Hingga hari ini, kejelasan duduk perkara itu ternyata belum berhasil menjernihkan persoalan. Buktinya, Lapindo masih saja mbalelo dengan mengulur-ulur pembayaran ganti rugi. Sementara, pemerintah belum sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi cash and carry yang dituntut korban. Di pihak lain, rakyat Porong harus berjuang “sendirian” menuntut hak-haknya.

Ketidakjelasan penyelesaian kasus ini membuat penderitaan korban Lapindo semakin berkepanjangan. Lapindo Brantas telah memberantas hak-hak asasi rakyat Porong. Kelangsungan hidup rakyat Porong di bidang ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, serta hak politiknya terancam.

Tangis dan derita seharusnya membuka kesadaran pemerintah untuk berbuat sesuatu. Maka, agar tak dikatakan “absen” dari tanggung jawabnya, pemerintah harus turun tangan. Atas nama rakyat, pemerintah harus mendesak Lapindo membayar ganti rugi cash and carry. Hal ini mutlak dilakukan karena, pertama, hak-hak asasi korban Lapindo semakin terancam. Yaitu hak milik, hak untuk hidup dalam suatu wilayah, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya, juga hak politik sebagai warga negara.

Kedua, perjuangan rakyat Porong belum mampu meluluhkan hati Lapindo. Dalam hal ini, pemerintah adalah satu-satunya aktor yang mampu mendesak Lapindo melalui kebijakannya. Ketiga, kerugian dan penderitaan rakyat Porong adalah buah kecerobohan Lapindo. Maka, Lapindo harus bertanggung jawab mengganti semua kerugian dan mengurangi penderitaan korbannya.

Selain itu, ketegasan pemerintah berguna untuk menangkis gagasan pembebanan dana. Menurut penulis, gagasan itu tidak realistis karena; (1) lumpur panas Lapindo belum mendapat status bencana alam, (2) dari sisi anggaran negara juga tidak mampu menanggung segala kerugian yang diakibatkan lumpur Lapindo. Selain itu, lumpur panas adalah murni kesalahan Lapindo, dengan demikian bukan menjadi tanggungan APBN, yang merupakan representasi seluruh rakyat Indonesia, (3) jika pemerintah memutuskan untuk membiayai segala kerugian akibat lumpur, dikhawatirkan pemegang saham Lapindo bakal lari dari tanggung jawabnya.

Penderitaan dan aspirasi Korban Lapindo harus dipedulikan. Sebab, tanpa ketegasan dan komitmen untuk menyelesaikan kasus ini, tidak mustahil Rakyat Porong akan melakukan pembangkangan sipil (disobidience society) yang lebih dahsyat.[*]

No comments: