Sunday, May 13, 2007

KAPAL KITA BERLAYAR KE BARAT

Prasetyo


Dalam voting anggota Dewan Keamanan PBB, Sabtu (24/3), Indonesia mendukung resolusi 1747 atas pengayaan nuklir Iran. Menlu Hassan Wirayuda mengatakan, Indonesia mendukung resolusi karena mengatur penghapusan dan larangan pengembangan senjata nuklir di Timur Tengah. Apakah tindakan ini tidak melenceng dari politik bebas-aktif?


Inilah potret teranyar wajah politik luar negeri kita. Nampaknya, Kementrian Luar Negeri RI terlalu asyik dalam discourses situasi internasional, tanpa mempertimbangkan suara masyarakat politik di tanah air. Dampaknya, keputusan “sepihak” itu menuai kecaman dan kritik. Dua ormas Islam terbesar yaitu NU dan Muhammadiyah melancarkan kecaman tajam atas keputusan tersebut. Sementara, Front Anti-intervensi Amerika, Gus Dur, serta lapisan masyarakat lainnya menyatakan hal serupa (Sindo, 28/3). Selain itu, para wakil rakyat yang sempat dihebohkan oleh laptop, tiba-tiba mengajukan hak interpelasi. Hingga Kamis (29/3), surat usulan penggunaan hak interpelasi telah diteken 276 anggota DPR (Sindo, 30/3).


Sejak awal, doktrin politik luar negeri bebas-aktif dianggap sebagai komitmen nasional yang harus dipegang teguh. Sehingga, ketika ada pelanggaran terhadap doktrin tersebut pastilah akan mengundang kritik yang tajam. Seperti kita ketahui, politik bebas-aktif mengandung dua unsur pokok. Pertama, “bebas” bisa diartikan tidak terlibat dalam aliansi militer atau pakta pertahanan dengan blok Timur (Soviet) dan blok Barat (AS). Dalam arti luas, politik yang “bebas” menunjukkan tingkat nasionalisme yang tinggi karena menolak keterlibatan atau ketergantungan terhadap pihak luar yang dapat mengurangi kedaulatan negara.


Kedua, “aktif” menunjukkan bahwa politik luar negeri Indonesia tidak boleh pasif dan hanya mengambil sikap netral dalam menghadapi permasalan-permasalahan internasional. Pembukaan UUD 1945 secara jelas menuntut Indonesia untuk menentang segala bentuk penjajahan dan ikut memajukan perdamaian dunia.


Dari masa ke masa praktik politik bebas-aktif masih terasa ambigu. Pada masa Orde Lama, Indonesia menjadi salah satu deklarator gerakan non-blok. Namun, seiring dengan pengaruh perang dingin, Indonesia akhirnya lebih dekat dengan blok Timur yang komunis. Pada masa Orde Baru, Indonesia tetap menjadi anggota gerakan non-blok. Namun, perilaku Pak Harto lebih terlihat “mesra” dengan blok kapitalis.


Saat ini, sejak Indonesia menyatakan mendukung resolusi 1747, maka “kapal kita sudah berlayar ke Barat.” Keputusan mendukung resolusi telah mengingkari doktrin politik bebas-aktif. Pasalnya, bukan politik bebas dan aktif yang ditonjolkan, tetapi lebih kepada kepentingan eco-politis. Dicurigai, kunjungan Presiden Bush ke Indonesia beberapa waktu lalu, merupakan kampanyenya untuk “membujuk” Indonesia mendukung resolusi ini. Padahal, suara rakyat mengatakan bahwa kepentingan kemanusiaan, keadilan, dan solidaritas dunia Islam lebih penting daripada kepentingan eco-politik semata.


Pemerintahan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjodjo jatuh pada tahun 1952, gara-gara Menlu Subardjo secara diam-diam sepakat menerima bantuan ekonomi Amerika. Akankah hak interpelasi DPR dapat membuat nasib pemerintahan SBY seperti pemerintahan Perdana Menteri Sukiman?
[*]

No comments: