Sunday, May 13, 2007

41 TAHUN SUPERSEMAR

Prasetyo

Minggu (11/3) adalah hari ulang tahun Supersemar ke-41. Hingga kini, hal-hal yang berkaitan dengan Supersemar masih mengandung misteri dan kontroversi. Selebihnya, Supersemar telah mengajari kita bagaimana melakukan proses peralihan kekuasaan secara tak demokratis.

Sebuah Misteri

Negeri ini diliputi banyak misteri. Banyak peristiwa penting dikubur dalam-dalam dari pemikiran umum. Hal ini dilakukan karena peristiwa tersembunyi tersebut mengandung dosa dan aib. Jika dibuka, maka bisa mengancam kepentingan eco-politik si empunya aib.

Salah satu misteri itu adalah Supersemar 1966. Banyak versi dan kontroversi mengenai peristiwa Supersemar. Paling tidak ada dua kontroversi yang berkembang sampai saat ini. Kontroversi pertama, tentang proses penyusunan dan penyerahan Supersemar. Di satu pihak mengatakan, bahwa Supersemar adalah inisiatif Bung Karno, untuk menyikapi kondisi politik dan keamanan pasca Gerakan 30 September. Supersemar memberikan “mandat” kepada Letjend. Soeharto untuk menjamin keamanan, ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi.

Sementara, pendapat lainnya bahwa Supersemar dibuat bukanlah atas kemauan Bung Karno sendiri. Mengutip Asvi Warman Adam (2007), pada tahun 1998, anggota Tjakrabirawa Letnan Dua (Purn.) Soekardjo Wilardjito mengaku bahwa Jenderal Panggabean menodongkan pistolnya kepada Bung Karno. Dengan kata lain, penugasan tersebut diberikan dalam keadaan terpaksa. Pada gilirannya, orang bisa menduga bahwa pada bulan Maret 1966 itu terjadi semacam kudeta.

Kontroversi kedua, tentang keberadaan Supersemar. Pada tahun 1980, Sekretariat Negara menyatakan bahwa Supersemar asli telah hilang. Kendati hilang, namun copy teksnya masih tersimpan. Paling tidak ada dua berkas faksimili tentang hal tersebut; dalam majalah Tempo (15 Maret 1986]. Supersemar juga ditemukan dalam dua versi yang berbeda. Ada yang dua lembar halaman dan ada yang satu lembar halaman. Lucunya, kendati bunyi teks keduanya serupa, namun format dan tandatangan Bung Karno tidak sama, kop suratnya pun berbeda [David Bourchier, 2006].

Di atas kontroversi tersebut, akhir-akhir ini banyak kalangan yang mengajak “melupakan” sejarah Supersemar. Mereka tak henti-hentinya menyerukan untuk mengakhiri perdebatan tentang Supersemar. Intinya, mereka tak henti-hentinya mengkampanyekan bahwa Supersemar dan Orde Baru telah berhasil merealisasikan cita-cita kemerdekaan politik-ekonomi, yang ditunjukkan dari stabilnya kondisi politik dan keamanan serta tercapainya kebutuhan rakyatnya.

Apakah sesederhana itu perilaku kita dalam memahami Supersemar? Tentu tidak. Sebab, Supersemar merupakan sejarah penting yang wajib dituntaskan duduk perkaranya. Hal ini karena tidak menutup kemungkinan model peralihan kekuasaan yang “janggal” ini bakal terulang kembali.

Pengkhianatan Pak Harto

Mengutip David Bourchier (2006), isi Supersemar adalah: “Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS, demi keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.”

Apakah isi Supersemar tersebut dijalankan sebagaimana mustinya oleh Pak Harto? Kalau kita telusuri dari berbagai langkah atau tindakan Pak Harto sebagai “pengemban” Supersemar, apa yang dilakukannya sangat berlawanan dengan isi surat perintah tersebut. Beberapa kejanggalan tersebut antara lain; pertama, perintah untuk menjamin keamanan dan ketentraman rakyat, nyatanya menghasilkan penangkapan, teror, serta pemenjaraan terhadap jutaan anggota dan simpatisan PKI. Dengan kata lain, Pimpinan Angkatan Darat telah mengambil berbagai tindakan yang merusak kestabilan pemerintahan di bawah pimpinan Bung Karno dan jalannya revolusi.

Kedua, apa yang dilakukan Pak Harto dan kawan-kawannya terhadap Bung Karno sama sekali tidak menjamin kewibawaan beliau sebagai presiden. Bahkan, pimpinan Angkatan Darat kemudian menjadikan Bung Karno sebagai tapol. Ketiga, Pak Harto dan kawan-kawan juga tidak melaksanakan ajaran pimpinan besar revolusi, bahkan sebaliknya, menghancurkan segala ajarannya. Di antara ajaran itu yakni, Pancasila, anti-imperialis dan anti-nekolim, Nasakom, Manipol, semangat gotong royong, pengabdian kepada kepentingan rakyat kecil, dan persatuan Indonesia. Dan keempat, Pak Harto juga tidak memberi laporan kepada Bung Karno tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawabnya, seperti tercantum dalam Supersemar.

Oleh karena itu, Supersemar adalah bukan saja awal kejahatan dan pengkhianatan terhadap Bung Karno, melainkan juga kejahatan dan pelanggaran HAM terhadap jutaan korban peristiwa 65 dan sebagian besar rakyat Indonesia lainnya.

Jangan Sampai Terulang

Supersemar telah memberikan keuntungan politik besar kepada Pak Harto dan kawan-kawannya. Puncaknya, pada 12 Maret 1967 Pak Harto diangkat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi Presiden Indonesia. Sehingga, Supersemar dikenal sebagai tonggak berdirinya rezim orde baru.

Sudah menjadi hukum sejarah, ketika sebuah rezim berkuasa menggantikan rezim lama, maka dengan serta merta rezim baru akan membangun sebuah tatanan dengan paradigma tersendiri. Perubahan itu menyangkut perubahan struktur politik, tatanan birokrasi, serta aturan-aturan undang-undang dan hukum. Menyangkut Supersemar, Orde Baru menganggapnya sebagai titik balik angkatan 66 dalam berkomitmen mengamalkan Pancasila dan UUD-45. Dalihnya, dengan mengamalkan Pancasila dan UUD-45 secara “murni dan konsekwen,” maka secara perlahan demokrasi serta pemajuan ekonomi rakyat akan tercapai.

Menurut penulis, Supersemar merupakan sebuah alat peralihan kekuasaan yang tidak demokratis. Supersemar merupakan puncak dari proses “kudeta merangkak” Pak Harto dan kawan-kawannya, yang telah dilakukan sejak 1 Oktober 1965. Karena itu, jangan sampai proses peralihan kekuasaan yang tak demokratis ini terulang kembali.

Diakui, secara empirik negeri ini memang belum mempunyai aturan main dalam peralihan kekuasaan. Akibatnya, “Supersemar jilid II” pun terjadi kembali pada reformasi Mei 1998. Di luar dari alasan menurunkan rezim jahat, gerakan demonstrasi penurunan rezim ternyata tidak menjamin terciptanya pemerintahan yang demokratis dan berkelanjutan. Gerakan demi gerakan penurunan rezim itu “hanya” berhasil mengganti rezim. Mereka “gagal” mengganti tatanan sosial dan politik rezim sebelumnya. Selebihnya, gerakan-gerakan itu “hanya” berhasil menghasilkan sebuah masa transisi. Padahal, masa transisi demokrasi merupakan sebuah masa yang maha berat, yang tak segan-segan menelan banyak korban. Transisi “hanya” menghasilkan keadaan limbo, yaitu keadaan di mana aturan lama sekarat, sedang aturan baru tak kunjung kuat. Akhirnya, pemerintahan pun didominasi oleh pemain lama berbaju baru, dan pemain baru bermental lama.

Maka dari itu, Pemilu adalah jawabannya. Pemilu merupakan mekanisme peralihan kekuasaan yang demokratis, kendati tidak serta-merta menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Kita berharap jangan sampai proses peralihan kekuasaan yang tak demokratis ini terulang kembali. Gerakan “cabut mandat” yang santer akhir-akhir ini, semoga bukan dalam rangka mengulang kesalahan sejarah. Sebab, akan menjadi bangsa yang merugi dan malang kalau kita tidak meletakkan sejarah untuk keperluan pembelajaran dan kemudian membangun hari esok.[*]

No comments: