Sunday, May 13, 2007

Jejak-jejak Realisme Sosialis di Indonesia

Dari Pram, Rendra, & Wiji Thukul

Prasetyo


Seni bukanlah sesuatu yang kosong dan tidak berpihak. Namun, seni mempunyai pemihakan yang besar, yakni atas suara hati nurani. Sementara, hati nurani identik dengan kejujuran dan kepolosan. Penyair haruslah berjiwa ’bebas dan aktif’, kata Wiji Thukul. Bebas dalam mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kebenaran yang pernah diyakininya. Dengan kebebasan, penyair dapat leluasa mengapresiasi kegelisahannya terhadap diri, masyarakat, bangsa, bahkan dunia.

Kedekatan seni dengan realitas inilah inti dari aliran realisme sosialis. Realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan mereka berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana ”penyadaran” manusia yang terasing dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.

Analisis tentang segi-segi realisme sosialis di Indonesia, dapat ditinjau dari roman-roman Pramoedya Ananta Toer, puisi-puisi Rendra atau puisi-puisi Wiji Thukul. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer, telah memberikan penyadaran bahwa sejarah telah dibelokkan sedemikian rupa oleh kekuasaan. Wajah historis Indonesia pun terkuak karena novel-novel Pram. Bumi Manusia, bumi tempat berpijak rakyat Indonesia ternyata masih bercokol tatanan kerajaan yang tersisa secara ideologis, juga cengkeraman tentara dan elit “tuna moral” kerakyatan. Novel-novel sejarah Pram hingga saat ini telah merasuki ruang berpikir anak-anak muda guna menggugat kebenaran sejarah. Novel-novel Pram yang terkenal antara lain, Tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Selain Pram, WS. Rendra hadir dalam dunia sastra Indonesia meretakkan kebekuan pengecut dunia seni-sastra yang bersifat individualis dan absurd. Realitas adalah pijakan Rendra. Kritiknya bukan hanya tajam tetapi juga dapat menggerakkan ratusan mahasiswa untuk berkumpul mendengarkan puisinya yang menguak luka sejarah penindasan. Estetika perlawanan mulai bangkit, maka disusunlah strategi-taktik perlawanan yang efektif. Kampus yang awalnya menjadi muara gading kekuasaan, mahasiswa mulai mengorganisir massa.

Dengan puisi-puisi perlawanan di dalam hatinya, Kedung Ombo didatangi, dibacakanlah keperihan rakyat akibat peristiwa perampasan, pembunuhan, dan penyingkiran Orde Baru terhadap kemanusiaan. Tahun 1990-an, Wiji Thukul hadir menggetarkan dunia sastra dengan puisi-puisi kerakyatannya. Ia bersama kaum muda PRD (Partai Rakyat Demokratik) terlanjur menjadi berani dan melawan. Wiji Thukul adalah satu-satunya yang berani menyatakan bahwa estetika yang sejati adalah estetika yang berprinsip: "Hanya Satu Kata: Lawan!". PRD dan Thukul sadar bahwa fase 1990-an adalah fase memimpin keberanian rakyat, mendobrak kebekuan perjuangan elitis dan pragmatis. Prinsip radikalisasi ala Mas Marco dan Tirto Adisuryo sebagai sastrawan jaman pergerakan ditegaskan sebagai bagian hakiki dari sejarah. Puisi-puisi Thukul adalah sejumlah kesaksian yang begitu tegar, getir, dan siap menjadi pisau. Ia menyadarkan ruang pikir kita bahwa ternyata hidup tidak hanya berisi kesenangan semata. Thukul memaparkan pula, bagaimana ia mencintai perempuan, dengan bermodal baju yang loak pundaknya. Pemakaian simbol binatang banyak pula hadir, simak dalam sajak Tikus (Aku Ingin Jadi Peluru: 160-161). Thukul mencoba menggugat tentang kekalahan si kecil dengan yang besar. Kita pun dihadapi dalam sebuah hukum rimba, siapa yang menang dialah yang berkuasa:

Seekor tikus
pecah perutnya
terburai isinya
berhamburan dagingnya

seekor tikus mampus
dilindas kendaraan
tergeletak
di tengah jalan
kaki dan ekornya
terpisah dari badan
darah dan bangkainya
menguap bersama
panas aspal hitam
siapa suka
melihat manusia dibunuh
semena-mena
ususnya terburai tangannya
terkulai seperti tikus selokan
mampus digebuk
dibuang di jalan
dilindas kendaraan

kekuasaan sering jauh lebih ganas
ketimbang harimau hutan yang buas
korbannya berjatuhan
seperti tikus-tikus
kadang tak berkubur
tak tercatat
seperti tikus dilindas kendaraan lewat …

Kau bersedia
diumpamakan
seperti tikus?

Kekerasan demi kekerasan oleh Orde Baru ternyata masih juga dilakukan. Aktivis pemberani ditangkap, diculik, dan dibunuh. Tetapi keberanian terlanjur menyebar. Dalam Bunga dan Tembok tampak juga bagaimana Thukul menghardik kekuasaan tiran:

… jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan:engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami
di mana pun tirani harus tumbang!

Sementara, kedekatan Thukul dengan realitas sosialnya dapat ditinjau dari puisi, Nyanyian Akar Rumput (Aku Ingin Jadi Peluru: 9):

Jalan raya dilebarkan
kami terusir
mendirikan kampung
digusur
kami pindah-pindah
menempel di tembok-tembok
dicabut
terbuang

kami rumput
butuh tanah
dengar!
Ayo gabung ke kami
Biar jadi mimpi buruk Presiden

Kini, Pram sudah meninggal. Rendra sudah tua. Thukul juga menghilang begitu saja. Namun, jejak-jejak sastra realisme sosialis akan selalu hadir merasuki ruaang pikir generasi kritis. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari puisi, drama (teater), hingga novel dan buku-buku kritis lainnya. Realisme sosialis akan selalu hadir seiring tumbuhnya bakteri anti hati nurani. Bakteri itu adalah kekuasaan bengis lagi anti-rakyat.[]

No comments: