Sunday, May 13, 2007

IPDN: Dibubarkan atau Dirombak?

Prasetyo


Kekerasan di IPDN yang mengakibatkan kematian Cliff Muntu, telah memancing kegerahan berbagai pihak. Pro dan kontra pembubaran IPDN mulai memanas. Pihak yang pro beranggapan bahwa di IPDN telah terjadi penyiksaan yang sungguh mengerikan. Menurutnya, tak mustahil budaya kekerasan ini akan terus berlanjut, kendati ada perubahan sistem. Sementara, yang kontra berpendapat bahwa pembubaran IPDN adalah mubazir. Pembubaran IPDN akan berdampak pada kerugian terbengkalainya infrastruktur pendidikan di kampus Jatinangor tersebut. Selain itu, keberadaan IPDN awalnya dirancang untuk kepentingan bangsa dan negara. Jadi, perlu solusi terbaik yaitu membenahi sistemnya.


Perbedaan pendapat halal hukumnya, sepanjang disertai argumen yang tepat demi kemaslahatan bersama. Namun sebelum menentukan sikap, ada baiknya kita menganalis faktor-faktor penyebabnya. Pada awal pendiriannya, IPDN (dulu STPDN) memasukkan pendidikan militer dalam kurikulumnya. Hal ini dimaksudkan untuk mendidik mental kepribadian dan disiplin. Namun, setelah para pelatih dari AKABRI ditarik kembali, tidak ada lagi pelaksana kurikulum kemiliteran di IPDN yang profesional. Akibatnya, pendidikan kemiliteran yang diterapkan tidak mengikuti garis resmi. Dengan kata lain, yang terjadi kemudian bukanlah pendidikan kedisiplinan, namun pendidikan yang bermuatan kekerasan. Sebagai konsekuensi dari pendidikan bermuatan kekerasan ini, kemudian terjadi dendam senioritas. Kekerasan dibalas kekerasan. Mungkin demikian semboyan senioritas yang berlaku di IPDN. Tadinya kita berharap terkuaknya kematian Wahyu Hidayat [2003], dapat memutus mata rantai kekerasan di IPDN. Namun, kenyataannya kekerasan masih dibudayakan dari generasi ke generasi.


Ada dua alternatif yang bisa ditawarkan. Pertama, perombakan ini mengacu kepada UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jika ingin IPDN tetap berstatus sebagai institut penghasil S1, penyelenggaraan pendidikannya harus berada langsung di bawah Depdiknas. Kedua, IPDN tetap bisa di bawah Depdagri dan bersifat kedinasan dengan berstatus in house training bagi calon PNS saja. Dengan in house training, lulusan IPDN tidak akan menyandang gelar akademik dan hanya bersifat sebagai lembaga kedinasan.Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab utama kekerasan adalah bobroknya sistem di IPDN. Untuk itu, perlu reformasi besar-besaran dalam kurikulum dan silabus IPDN.Selain itu, terjadi ketimpangan antara jumlah mahasiswa dan dosen di IPDN. Jumlah dosen sekitar 100 orang tak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang mencapai 4000-an orang. Akibatnya, kebiasaan militeristik itu tumbuh liar tanpa pengawasan yang berarti dari dosen dan pihak kampus. Akibatnya, besar kemungkinan para mahasiswa IPDN membuat peraturan dan kegiatan tanpa sepengetahuan pihak kampus.


Tegasnya, mari berikan kesempatan bagi IPDN untuk membenahi diri. Kita tunggu dan kita awasi perubahan-perubahan di IPDN. Jika ternyata masih saja terjadi kekerasan, seks bebas, atau narkoba, maka IPDN “halal” hukumnya untuk dibubarkan.[]

No comments: