Sunday, May 13, 2007

“Absennya” Gerakan Mahasiswa

Prastiyo

Saat ini, mengandalkan perubahan besar bangsa/masyarakat ke pundak mahasiswa mungkin sudah tak relevan. Hipotesis ini bisa dibuktikan dari “absennya” gerakan mahasiswa dalam berbagai momentum politik mutakhir. Berbagai kealpaan pemerintah, ternyata belum membuat mahasiswa Indonesia bangkit dan melawan. Sebenarnya, ada apa dengan gerakan mahasiswa?

Tak dapat dihitung berapa kali gerakan mahasiswa “absen” dari tanggung jawab sosio-politiknya. Dewasa ini, paling tidak ada tiga momentum besar yang luput dari sorotan gerakan mahasiswa. Pertama, isu reshuffle kabinet. Perombakan kabinet telah bergulir menjadi perdebatan ramai di publik. Pro dan kontra terus memanas, namun pemerintah tak kunjung mengambil sikap tegas. Padahal, perombakan kabinet merupakan kunci untuk; (1) efektifitas/efisiensi kinerja kabinet (the right man on the right job), (2) membersihkan kabinet dari orang yang tak cakap. Dalam hal ini, gerakan mahasiswa belum menunjukkan sikap yang jelas, baik di ranah wacana maupun di lapangan.

Kedua
, isu tumpulnya tanggung jawab negara. Kelambanan pemerintah dalam menangani bencana dan musibah, membuat tanggung jawab pemerintah kian merapuh. Contohnya dalam kasus lumpur Lapindo, negara dinilai “gagal” membela dan melindungi hak-hak rakyat Porong di bidang ekonomi, sosial, budaya, serta hak politik. Menyangkut isu ini, lagi-lagi suara mahasiswa sumbang.

Ketiga
, dukungan pemerintah terhadap resolusi DK PBB atas pengayaan nuklir Iran. Keputusan ini dinilai sepihak dan tidak mengakomodir masyarakat politik di tanah air. Pemrintah lebih mementingkan kepentingan eco-politik jangka pendek, ketimbang “menentang segala bentuk penjajahan dan ikut mamajukan perdamaian dunia.” Karena itu, publik menilai dukungan terhadap resolusi itu adalah pelencengan terhadap politik bebas-aktif. Padahal, atas sikap tersebut DPR telah mengajukan interpelasi. Sementara NU dan Muhammdiyah juga mengecam keputusan tersebut. Bagaimana sikap gerakan mahasiswa? Hingga saat ini, isu itu juga belum membangkitkan libido gerakan mahasiswa untuk “melawan.”

Mengapa gerakan mahasiswa cenderung bersikap diam? Sesungguhnya, penyakit ini sudah terdiagnosis sejak reformasi 1998 digulirkan. Pasca 1998, gerakan mahasiswa terpecah dan gagal menemukan harapan akan perubahan fundamental. Sebaliknya, berkembang suatu kecenderungan padat politisasi (intense politicization), merasa benar sendiri, serta miskin agenda dan strategi. Hasilnya, mimpi aksi bersama menjadi aneh dan jauh panggang dari api. Sebaliknya, realisasi aksi berbendera sendiri-sendiri “diimani” sebagai jalan keluarnya.

Untuk itu, agar tidak dikatakan “absen” dari tanggung jawabnya, gerakan mahasiswa harus membenahi diri. Pertama, melakukan peleburan individu-individu idealis menjadi historical bloc (kesatuan gerak perlawanan). Yaitu satu kesatuan yang mempertautkan pelbagai ensemble gugus identitas ke dalam front bersama. Kedua, gerakan mahasiswa harus menyadari adanya musuh bersama, yaitu kelambanan negara dan menguatnya neo-liberalisme dalam struktur negara. Ketiga, menyediakan kepemimpinan moral dan intelektual hegemonic yang membedakannya dari partai politik dan parlemen. Dengan cara ini, gerakan mahasiswa akan “gagah” dalam merespons perubahan sosio-politik mutakhir.[*]

No comments: