Sunday, May 27, 2007

The Young And The Hopeless

Hard days made me
Hard nights shape me
I don’t know they somehow saved me

And I know I’m making something
Out of this life they called nothing
Take what I want, take what I need
They say it’s wrong, but it’s right for me
I won’t look dow, won’t say I’m sorry
I know that only God can judge me

And if I make it through today
Will tomorrow be the same?
Am I just running in place?
And if I stumble and I fall
Should I get up and carry on?
Will it all just be the same?

’cause I’m young and I’m hopeless
I’m lost and I know this
I’m going no where fast, that’s what they say
I’m troublesome, I’m falling
I’m angry at my father
It’s me against this world and I don’t care
I don’t care…

And no one in this industry
Understand the life I lead
When I sing about my past
It’s not a gimmick, not an act
These critics and these trust fund kids
Try to tell me what punk is
But when I see them on the street they got nothing to say

And if I make it through today
Will tomorrow be the same?
Am I just running in place?
And if I stumble and I fall
Should I get up and carry on?
Will it all just be the same?

’cause I’m young and I’m hopeless
I’m lost and I know this
I’m going no where fast, that’s what they say
I’m troublesome, I’m falling
I’m angry at my father
It’s me against this world and I don’t care
I don’t care…

I don’t care…
I don’t care…
And now, I don’t care

I’m young and I’m hopeless
I’m lost and I know this
I’m going no where fast, that’s what they say
I’m troublesome, I’m falling
I’m angry at my father
It’s me against this world and I don’t care
I don’t care…
I don’t care…
I don’t care…




Friday, May 25, 2007

Gerakan Kaum Muda

From Social Movement To Political Movement

Pemuda Haus Revolusi

Di mana dan apa sejatinya yang harus dilakukan oleh kaum muda di tengah munculnya distrust society dan keputusasaan terhadap kaum tua yang diangap tidak mampu menyelesaikan krisis bangsa ini? Dan, apakah gerakan kaum muda itu gerakan harus memilih ‘moral’ atau ‘politik’? Adalah dua pertanyaan yang menyiratkan kekaburan pandangan kita tentang moralitas dan politik. Dalam penghadapan kedua istilah tersebut terkesan (seolah-olah) bahwa gerakan politik tidak mengandung muatan moral, sementara gerakan moral tak mengandung muatan politik.

Sejatinya, politik adalah suatu karsa untuk menegakkan moralitas dan rasionalitas publik. Tindakan berpolitik, menurut Hannah Arendt (1973), merupakan salah satu human condition yang berbasis aksi bersama dalam memperjuangkan kepentingan secara berkeadaban (civic). “Menjadi warga politik,” tulis Arendt, “berarti hidup di dalam suatu polis, tempat segala sesuatu diselesaikan lewat argumentasi dan persuasi, bukan lewat kekerasan dan paksaan.” Di dalam tradisi Yunani, memaksa orang lewat kekerasan, kebiasaan mengomando ketimbang membujuk, dinilai sebagai cara-cara pra-politik, yang dinisbatkan kepada karakterisitik orang-orang yang hidup di luar polis. Kata politik, dengan demikian, menyiratkan kehidupan ideal yang diimpikan. Bila saat ini politik menjadi kata yang berlumuran caci maki dan terkesan hampa moralitas, pastilah ada yang tak beres dalam sejarah kehidupan politik kita.

Jika politik mengandung moral imperatives, maka perjuangan moral--kebenaran, keadilan dan rasio (meminjam Julien Benda), sebagaimana bentuk-bentuk perjuangan lainnya, selalu mengandung relasi-relasi kuasa tertentu. Dan setiap bentuk relasi kuasa, secara tak terhindarkan, memiliki dimensi dan esensi politiknya tersendiri. Pada kenyataannya, moralitas bukanlah kualitas-kualitas ideal-abstrak yang bersifat transendental, melainkan sesuatu yang lebih nyata (worldly) yang mesti diperjuangkan. Meminjam ungkapan Foucault (1979: 46), “Truth is of the world; it is produced there by virtue of multiple constrains…Each society has its regime of truth, it is ‘general politics’ of truth…” Dengan kata lain, sekali klaim moralitas diperjuangkan, bahkan untuk tujuan-tujuan non-politik selalu mengandung “pertarungan-pertarungan kuasanya tersendiri”. Oleh karena itu, tak terelakkan penjelmaannya menjadi gerakan politik.

Tentu saja ada bermacam bentuk gerakan politik. Bisa berbentuk partai politik, kelompok kepentingan (interest group), bisajuga dalam bentuk ‘gerakan sosial’ (social movement). Ekpresi politik dari partai politik lebih menekankan penguasaan sumberdaya kekuasaan dengan dukungan sistem pengorganisasian yang terpusat dan hierarkhis. Interest group lebih berorientasi pada upaya mempengaruhi kebijakan publik melalui serangkaian lobby dan kerjasama non-formal dengan para pengambil keputusan. Sedang social movement lebih beorientasi pada upaya memperjuangkan agenda-agenda sosial tertentu dengan cara-cara mobilisasi yang kurang terstruktur dan cara artikulasi yang tidak baku.

Gerakan kaum muda lebih sering menunjukkan karakteristik sebagai ‘gerakan sosial’ (social movement). Menurut Donatella della Porta dan Mario Diani (1999), akademisi dari pelbagai latar teritorial dan teoritis berbagi pemahaman yang sama mengenai karakteristik social movement, setidaknya menyangkut empat hal.

Pertama, aksi bersamanya merupakan hasil dari jaringan interaksi informal, yang melibatkan keragaman individu, kelompok dan/atau organisasi. Suatu jaringan yang sanggup mempromosikan kerangka interpretasi (systems of meaning) serta ‘sirkulasi suberdaya-sumberdaya esensial’ bagi aksi bersama. Kedua, adanya solidaritas dan keyakinan yang sama, sebagai sumber dari kehendak dan identitas bersama.

Ketiga, gerakan sosial menceburkan diri pada situasi konflik, baik konflik sosial, politik, ekonomi maupun kultural. Dengan konflik yang dimaksud adalah hubungan oposisional antar aktor-aktor politik yang berusaha mengontrol hal (stake) yang sama.

Keempat, gerakan sosial mengadopsi pola-pola ekspresi politik yang tak lazim (unusual). Berbeda dari ekspresi partai politik yang terstruktur, artikulasi kolektif dari social movement penuh improvisasi melampaui batas-batas konvensional.

Sebagai tambahan, berdasarkan studi Eyerman dan Jamison (1991: 56) menemukan pola perkembangan gerakan sosial sebagai berikut: Pertama, gerakan sosial tumbuh melalui semacam siklus hidup (life cycle), dari tahap persiapan (gestation), disusul oleh tahap pembentukan (formation), menuju tahap konsolidasi (consolidation). Gerakan sosial jarang muncul secara spontan; tetapi memerlukan jangka waktu persiapan. Kedua, tidak ada gerakan sosial yang berhasil tanpa tersedianya ‘kesempatan politik’ (political opportunity), konteks ketertampungan masalah-masalah sosial serta konteks komunikasi yang membuka kemungkinan bagi artikulasi masalah dan penyebarluasan gagasan. Ketiga, gerakan sosial tidak dapat hadir hingga adanya individu-individu yang siap ambil bagian di dalamnya, bersedia mentransformasikan masalah pribadi menjadi masalah publik, serta mau terlibat dalam proses pembentukan identitas kolektif.

Berdasarkan tatapan teoretis di atas, ada beberapa hal yang perlu ditekankan. Di dalam spasi ‘gerakan sosial’, aktor dengan pelbagai latar identitas dan orientasi bersedia berbagi sistem keyakinan dan kehendak bersama melampuai batas (keyakinan dan kepentingan) masing-masing kelompok/organisasi, sambil tetap mempertahankan perbedaan dan kekhasan perangai masing-masing. Dengan kata lain, partisipasi dan otonomi merupakan hal yang esensial dari keberlangsungan gerakan sosial. Salah satu karakteristiknya adalah perasaan terlibat dalam proyek bersama—tanpa secara otomatis menjadi bagian dari suatu organisasi secara terstruktur. Suatu gerakan sosial akan lekas luluh manakala ada pemusatan suara, atau salah satu sektor dari gerakan menjadi terlalu dominan, mengangkangi keragaman artikulasi dan posisi subjek dalam gerakan sosial.

Dalam kaitan dengan pentingnya ketersediaan struktur kesempatan politik (political opportunity structure), studi komparatif yang dilakukan della Porta dan Diani (1999) menunjukkan perlunya kerjasama strategis antara aksi dan aktor gerakan sosial dengan aktor-aktor kelembagaan politik formal. Lebih lanjut dikatakan, keberhasilan suatu gerakan sosial ada kaitannya dengan faktor-faktor ketersediaan aliansi yang berpengaruh, toleransi bagi protes di kalangan elit, derajat keterbukaan atau ketertutupan akses politik formal, derajat stabilitas atau instabilitas aliansi politik, ketersediaan potensi kerjasama strategis, serta konflik politik di antara dan di dalam elit.

Di dalam konteks masyarakat plural yang ditandai oleh kelangkaan ‘kehendak bersama’ (common will), tentu saja ada banyak sistem keyakinan, sistem identitas dan multiple-aliansi, yang menyediakan tanah subur bagi kemungkinan terjadinya polarisasi (antar ‘gugus identitas’) maupun fragmentasi (di dalam suatu ‘gugus identitas’) gerakan sosial. Dalam konteks Indonesia, keterpecahan dan bentrokan identitas itu diperparah oleh ketidakhadiran negara sebagai the essential outsider yang mampu mengambil jarak yang sama terhadap semua gugus identitas. Problem mendasar dari politik Indonesia sesungguhnya adalah keberlangsungan negara pasca-kolonial yang tidak tegak atas dasar prinsip-prinsip supremasi hukum, serta tidak sanggup memberikan perlindungan keamanan dan keadilan bagi segenap elemen kebangsaan dan seluruh tumpah darah Indonesia. Di dalam ketiadaan kepastian hukum, perlindunan keamanan dan keadilan, orang lebih nyaman berlindung di balik warga-tribus (paguyuban komunal dan premanisme) ketimbang warga negara (citizen). Dalam lemahnya formasi kewarga-negaraan (citizenship), gerakan kaum muda pun terjebak ke dalam bentrokan identitas seperti dialami oleh para intelektual terdahulu. Meminjam pandangan Edward Shils (1972):

“Meskipun intelektual di negara-negara pasca kolonial telah memiliki ide kebangsaan di dalam negerinya sendiri, mereka toh belum berhasil menciptakan sebuah bangsa. Malahan, mereka menjadi korban idenya sendiri, ketika nasionalisme tidak mengarah pada perwujudan kewarga-negaraan (citizenship). Keanggotaan dalam suatu bangsa memerlukan rasa pertautan dengan orang-orang lain yang sama-sama membentuk bangsa. Hal ini juga memerlukan rasa kemitraan, dan kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, melunakkan dan menyerahkannya secara toleran terhadap tertib sipil, menganggap hal itu sebagai kurang signifikan ketimbang kepentingan komunitas bangsa secara keseluruhan. Dalam kehidupan politik, watak serupa itu membentuk apa yang disebut sebagai ‘kebajikan sivilitas’ (the virtue of civility).”

Sayang sekali, kebajikan seperti itu bukan merupakan gambaran umum dari kaum intelligentsia-politik di negara-negara tersebut. Yang berkembang di sini adalah suatu kecenderungan ‘padat politisasi’ (intense politicization) yang disertai oleh keyakinan bahwa hanya mereka yang memiliki kesamaan prinsip dan posisilah yang dianggap sebagai anggota absah suatu masyarakat politik (polity). Sedangkan bagi mereka yang berbeda, dikucilkan oleh curam hambatan yang terjal.

Dalam kecenderungan untuk melakukan proses ‘othering’ terhadap identitas yang berbeda, suatu peleburan menjadi suatu historical bloc, yang mempertautkan pelbagai ensemble gugus identitas ke dalam front bersama, hanya dimungkinkan jika terdapat common enemy dan tersedianya kepemimpinan moral and intelektual (hegemony).

Jika terbentukanya hegemony dan historical bloc merupakan respon serempak atas suatu krisis sosial yang akut, sebagai akibat “retaknya lingkungan sosial serta meruyaknya ketidakpastian di dalam suatu situasi sejarah yang genting” (the fracture of the social sphere and the irruption of contingency within category of ‘historical necessity’), maka social movement merupakan gerakan politik yang tumbuh subur di masa krisis. Krisis yang dimaksud di sini, seperti dilukiskan oleh Gramsci (1971: 267), adalah suatu situasi ketika “yang lama tengah sekarat, yang baru tak kunjung lahir”. Dalam situasi anomie seperti itu, aksi kolektif yang tidak terstruktur, seperti dalam bentuk social movement, menyediakan tumpuan alternatif bagi aksi dan solidaritas kolektif. Kehadiran suatu gerakan sosial dalam konteks ini memiliki makna ganda: di satu sisi, merefleksikan ketidakmampuan kelembagaan dan mekanisme kontrol sosial dalam upaya mereproduksi kohesi sosial; di sisi lain, mencerminkan usaha masyarakat untuk bereaksi terhadap situasi-situasi krisis melalui penumbuhan keyakinan dan identitas bersama, sebagai tumpuan bagi solidaritas kolektif.

Peran social movement pada umumnya cenderung surut seiring dengan makin berfungsinya kelembagaan politik formal. Pengalaman negara-negara Eropa Selatan dan Amerika Latin dalam melewati masa transisi menuju demokratisasi, menunjukkan meredupnya kekuatan social movement ketika partai-partai politik dan kelembagaan negara lainnya mampu mengambil alih dan menjalankan agenda-agenda demokratisasi. Itu berarti, hiruk-pikuk aksi mahasiswa Indonesia tampaknya masih akan mewarnai jagad politik nasional, selama kelembagaan politik formal tidak menunjukkan itikad yang sungguh-sungguh serta kesanggupan untuk memperjuangkan agenda-agenda reformasi. Dan dari sini pula, kita kaum muda harus mempertajam reformasi menjadi revolusi. Bravo gerakan kaum muda.[]

Wednesday, May 23, 2007

SUDUT GELAP GLOBALISASI

Prastiyo

Jika kita mendengar istilah globalisasi, yang terbayang dalam pikiran kita mungkin adalah sebuah system yang mengatur ekonomi dunia tanpa mengenal batas-batas Negara (bordeless world). Sehingga dimungkinkan adanya pertukaran modal, tenaga kerja, maupun komoditas-komoditas berupa barang dan jasa antar negara secara bebas dengan tarif 0%. Itu adalah bagian dari globalisasi. System ini benar-benar memberikan kekuasaan pada mekanisme pasar. Proteksi negara untuk berbagai sektor-sektor ekonomi sedikit demi sedikit mulai dikurangi. Madeley dan Solagral (2001) memberikan pengertian mengenai liberalisasi perdagangan ini, yaitu proses pengurangan dan pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif dan non tarif secara sistematis antar negara sebagai mitra dagang.

Melihat fenomena system ekonomi di atas, kita dapat mengetahui adanya kesamaan dengan system ekonomi yang diterapkan di negara-negara barat, yaitu system ekonomi liberalisme. Yaitu system ekonomi yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada individu untuk berusaha dan sekaligus meminimalkan peran pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Paham ini percaya bahwa kemakmuran negara akan terwujud bila masing-masing individu dalam negara tersebut juga makmur dengan memberikan kebebasan berusaha yang seluas-luasnya kepada warga negaranya. Dari keterkaitan itu dapat dipahami jika ide globalisasi digulirkan dan benar-benar diperjuangkan oleh negara-negara barat. Sebab, globalisasi secara ekonomi sangat menguntungkan mereka. Investasi mereka tidak akan terhambat oleh tarif dan non tarif ekspor impor komoditas perdagangan. Dan ini terbukti sangat efisien. Namun lain halnya dengan negara berkembang, dengan masuknya barang-barang dari negara maju, pada tingkat tertentu akan menyaingi dan bahkan mematikan produksi barang-barang dari negara berkembang, yang notabene masih diproduksi secara tradisional dengan manajemen yang sederhana. Ini adalah salah satu dampak nyata dari globalisasi/liberalisasi. Walaupun dalam perkembanganya, semua negara, termasuk negara berkembang, ikut meng-amin-i ide globalisasi ini.

Bagaimanapun juga tantangan globalisasi tidak hanya menjadi momok bagi negara berkembang saja tetapi negara maju juga mengalami ketakutan yang sama. Negara maju menginginkan tekhnologi dan barang-barang yang dihasilkanya tidak terhambat untuk menjamah pasar-pasar negara berkembang, tetapi sekaligus berusaha keras menghambat agar produk-produk dari hasil industri padat karya negara berkembang yang “terlalu murah” tidak bebas beredar dan menjamah pasar-pasar di negara maju yang untuk selanjutnya menyaingi produk-produk dari negara maju. Walaupun dari sisi kualitas, produk tersebut tidak kalah dengan komoditas negara maju. Oleh karena itu negara maju berusaha mempengaruhi industri-industri negara berkembang melalui kebijakan-kebijakan pemerintah negara berkembang. Pengaruh itu antara lain mengenai kebijakan mengenai kondisi buruh, upah buruh maupun perlindungan terhadap lingkungan hidup. Implementasi dari pengaruh itu dalam dunia buruh adalah dengan “merekomendasikan” tingkat UMK/UMR di Indonesia, walaupun tidak secara langsung. Sehingga dengan begitu perindustrian negara berkembang dapat dikontrol. Dari sini dapat dipahami bahwa keterlibatan negara maju maupun dunia internasional sangat erat. Keterlibatan yang dapat memaksakan keinginan negara maju kepada negara berkembang. Salah satu alat paling “mujarab” untuk bisa memaksakan kehendak kepada negara berkembang adalah melalui kebijakan pemberian pinjaman dari IMF, CGI, maupun Bank Dunia. Dari penjabaran hubungan kausalitas tersebut maka wajar jika saatnya kita satu suara, “Tolak Utang Luar Negeri”.

Hambatan bagi negara berkembang untuk memasarkan produk-produknya di pasar Internasional tidak hanya berhenti sampai disini. Berbagai macam standardisasi diperkenalkan oleh negara maju lewat ISO, misalnya. Artinya, komoditas perdagangan produk negara berkembang yang ingin masuk pasar-pasar negara maju harus memenuhi aturan-aturan (mereka) yang telah ditetapkan. Itu semua dilakukan negara maju untuk memproteksi negara maju agar produk-produk negara berkembang tidak dengan mudahnya menyaingi produk-produk negara maju.

Konspirasi tersebut misalnya dapat dilihat dalam kesepakatan SPS (Sanitary and Phytosanitary) sebagai berikut : 1.) Amerika Serikat memberikan penalti dalam bentuk diskon harga secara otomatis untuk produk asal Indonesia seperti kakao, lada, udang dan jamur dengan alasan terkontaminasi serangga, salmonella, logam berat dan anti biotik. Disisi lain AS memaksakan produk CLQ (Chiken Leg Quarter)nya diterima oleh Indonesia yang disangsikan kehalalanya. 2.) Jepang menolak buah-buahan Indonesia dengan alasan terkontaminasi lalat buah. Selain itu, Jepang juga menolak masuknya pucuk tebu dengan alasan penyakit mulut dan kuku (PMK). 3.) Beberapa komoditas hortikultura dari Indonesia seperti pisang, pepaya dan jeruk mengalami pelarangan masuk ke pasar Taiwan dengan alasan ditemukan lalat buah yang tenyata tidak terdapat di Indonesia. (Deptan, 2001). Dari berbagai ketidak adilan perdagangan yang terjadi, salah satu hal yang mendesak untuk dilakukan adalah memperkuat kerjasama antar negara berkembang untuk secara bersama-sama berjuang untuk kepentingan rakyat negara berkembang dalam forum negosiasi dagang WTO. Bagaimanapun juga liberalisasi punya aturan main, dan kita dituntut untuk memperjuangkan kepentingan negara dalam forum negosiasi aturan main tersebut. Bukan hanya meng-amin-i setiap poin yang mereka tawarkan.

Disadari atau tidak kita telah banyak mengadopsi teori ekonomi negara barat. Di berbagai jenjang pendidikan materi-materi yang diberikan banyak berkiblat pada teori-teori neoklasik barat. Kita lebih mengenal teori ekonomi dari Adam Smith dan David Ricardo ketimbang teori ekonominya Karl Mark. Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan sedang menuju pada kemandirian dituntut untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa, termasuk ekonomi, sesuai Ideologi yang dipegang teguh yaitu Ekonomi Pancasila. System ekonomi kerakyatan yang sedang marak dibincangkan saat inipun sebenarnya merupakan subsistem dari teori ekonomi Pancasila yang mulai didengung-dengungkan sejak kemerdekaan. Dari sini dapat ditarik pengertian bahwa penyelesaian masalah yang sama antara negara satu dengan lainya memerlukan cara penyelesaian yang berbeda sesuai dengan ideologinya masing-masing melalui pendekatan moral dan kelembagaan yang ada di negara tersebut. Sehingga kita sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat tidak asal adopsi sistem maupun teori dari negara lain. Bukankah ada pepatah yang mengatakan, “ Rumput tetangga memang tampak lebih hijau”.




Tuesday, May 22, 2007

Mengurai Kasus Dana Bantuan DKP

Prastiyo

Baru-baru ini, kita dihebohkan oleh kasus penerimaan dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) ke sejumlah partai politik dalam pemilu 2004. Kasus ini mulai terkuak seiring dengan ditetapkannya mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rohmin Dahuri sebagai tersangka kasus korupsi di lembaga itu.

Adalah Amin Rais yang pertama terseret kasus ini. Amin Rais mengaku bahwa ia telah menerima bantuan dari Rohmin Dahuri sebesar Rp. 200 juta. Dana tersebut digunakan sebagai dana operasional dalam pemilu presiden 2004. Kasus ini pun tidak hanya berhenti sampai di situ. Selain Amin, ditengarai dana nonbujeter DKP itu juga masuk ke kantong sejumlah partai dan calon presiden peserta pemilu 2004.

Melihat kasus ini, di satu sisi kita sangat menyayangkan bahwa tindak pidana korupsi ternyata juga dilakukan oleh “orang bersih” seperti Amin Rais. Di sisi lain, kita sangat menghargai kejujuran, dan sikap tanpa tedeng aling-aling yang dilakukan oleh Amin Rais. Di tengah aroma kemunafikan dan kobohongan yang dilakukan oleh sejumlah pemimpin, hal seperti ini dapat dijadikan teladan. Mungkin, berangkat dari transparansi seperti itulah kasus korupsi dapat mudah di lacak.

Belum selesai kasus ini, baru-baru ini Amin Rais menyatakan bahwa di antara calon presiden dalam pemilu 2004 telah menerima dana bantuan dari pihak asing. Pernyataan Amin tersebut tidak kalah menghebohkan. Tentunya, pernyataan itu dibuat dengan satu alasan yang kuat. Dengan kata lain, Amin tidak hanya ingin tebar pesona atau sebagai ritual pembersihan diri. Orang sekaliber Amin Rais pasti mempunyai argumentasi dan bukti-bukti kuat berkaitan dengan dana bantuan asing itu.

Jika pernyataan itu benar, maka celakalah negeri ini. Seperti kita ketahui, dana bantuan asing tidak serta merta diberikan secara gratis. Menurut John Perkins, utang yang diberikan kepada individu atau negara tertentu, mempunyai efek jangka panjang yang sangat merugikan. Efek tersebut berkaitan dengan intervensi kebijakan-kebijakan luar negeri (neoliberalisme) ke dalam berbagai kebijakan dalam negeri negara pengutang. Dus, andaikan penerima bantuan asing dalam kampanye presiden 2004 tersebut berhasil memenangkan pemilu, maka negara ini sesungguhnya sedang dijerat oleh kepentingan asing.

Maka, agar rakyat tidak saling bertanya dan berasumsi macam-macam, kasus ini harus dituntaskan. Pengadilan harus menelusuri aliran dana nonbujeter DKP yang masuk ke kantong partai politik dan calon presiden dalam pemilu 2004. Selain itu, dana bantuan asing yang ditengarai masuk ke salah satu calon presiden juga harus ditelusuri kebenarannya.

Dengan semangat anti-KKN, pemerintah harus membuka ruang selebar-lebarnya untuk mengurai kasus ini sampai tuntas. KPK, Pengadilan, KPU, Panwaslu, serta PPATK harus saling bekerja sama untuk menelusuri dan menuntaskan kasus dana bantuan baik nonbujeter maupun bantuan asing untuk partai dan politisi. Hal ini penting dilakukan karena tidak menutup kemungkinan kejadian serupa dapat terulang di pemilu 2009 nanti.[]

Sunday, May 20, 2007

REFORMASI DAN CITA-CITA KESEJAHTERAAN RAKYAT

PRASTIYO

Reformasi Indonesia sudah berjalan sembilan tahun. Reformasi tersebut terkait erat dengan berakhirnya kekuasaan rezim Orde Baru dan munculnya rezim demokrasi, yang secara formal ditandai dengan terselenggaranya pemilu demokratis 1999.

Seperti kita ketahui, gerakan reformasi 1998 menuntut empat prioritas utama yakni; perbaikan ekonomi, perbaikan tata pemerintahan, penegakan supremasi hukum, dan demokrasi. Singkatnya, masyarakat menginginkan Indonesia yang makmur, bersih dari KKN, taat hukum dan demokratis. Setelah sembilan tahun, sejauh mana cita-cita tersebut terealisasi?

Sejak Presiden Habibie berkuasa dan hingga sekarang, kita dapat merasakan segarnya kebebasan berpolitik dan berekspresi (berdemokrasi). Selain itu, pemerintahan reformasi juga berhasil meredam berbagai konflik horizontal dan disintegrasi bangsa, mengubah sistem pemerintahan sentralisasi ke disentralisasi (otonomi daerah), mengawal proses penegakan hukum dan pemberantasan KKN, serta berupaya menciptakan good and clean government. Singkatnya, pemerintah telah berusaha mengupayakan merealisasikan demokrasi, penegakan hukum, serta perbaikan tata pemerintahan.

Bagaimana nasib kesejahteraan rakyat? Jika kita cermati kondisi umum masyarakat, nampaknya cita-cita perbaikan ekonomi masih jauh panggang dari api. Padahal, perbaikan ekonomi seharusnya menjadi prioritas utama, setelah fase penguatan civil society, pelembagaan masyarakat politik, pengutamaan hukum dan pengefektifan birokrasi. Artinya, ketika ide demokrasi telah diimplementasikan, tugas selanjutnya adalah menyejahterakan rakyat.

Sayangnya, upaya perbaikan ekonomi rakyat masih berada di peringkat terakhir. Sejak reformasi digulirkan, kondisi ekonomi rakyat justru bertambah buruk. Hingga kini, kemiskinan, pengangguran, putus sekolah, buta huruf, gizi buruk, serta kelaparan masih menjangkiti masyarakat kita. Menurut data BPS (2007), jumlah penduduk miskin tahun 2007 mencapai 45,7 juta jiwa. Sedangkan, jumlah pengangguran terbuka tahun ini tercatat sebanyak 12,7 juta jiwa. Hal tersebut dapat menjadi indikator bahwa pemerintah belum sungguh-sungguh memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Lalu, apa artinya itu semua? Kemerdekaan berpolitik, usaha penegakan hukum, dan liberalisasi ekonomi yang ditempuh pemerintahan reformasi ternyata belum menghasilkan masyarakat sejahtera. Kegagalan ini dikarenakan kita masih asyik menikmati dan memperpanjang transisi, serta menyerahkan pemaknaan dan realisasi kesejahteraan ekonomi pada teknokrat yang menjauhi rakyat.

Untuk itu, reformasi bidang ekonomi harus menjadi perhatian utama. Demokrasi harus dijalankan oleh para demokrat sejati, agar cita-cita kesejahteraan dapat segera terwujud. Dua hal ini melengkapi tuntutan masyarakat tentang perlunya transparansi dan pertanggungjawaban institusi negara pada cita-cita bersama. Dus, tugas utama institusi ekonomi pemerintah adalah melayani, melindungi dan mendorong publik sehingga dapat memberikan rasa aman bertransaksi, berproduksi, berinvestasi dan menciptakan terminus ad quem (waktu untuk menyelesaikan problem rakyat).(®)

Sunday, May 13, 2007

Sabtu, 12 May 2007

Gue bangun pagi-pagi. Tanpa mandi, gw cabut ke Blok M untuk transfer duitnya om. Udah gitu nongkrong di TIM karena kebetulan ada acara "Reuni dan Silaturahmi Eksponen 98." Gue asyik ngikutin diskusi sambil liat foto-foto perjuangan reformasi 98'. Temanya sih ngeri: Mengagas Ulang Metode Perubahan. Gue kira diskusi itu bakal libatin kita semua, anak muda di bawah angkatan 98. Tapi, gue gak tahu kenapa mereka justru asyik diskusi, debat serta menelanjangi kesalahan dan kealpaan mereka. Tadinya gue BT. Tapi, setelah dipikir ada benarnya juga. Okelah, mereka para pejuang reformasi yang harus kita apresiasi. Tapi mereka juga punya dosa besar!. Kenapa? Pikirku, tugas setelah mendobrak tiran yang otoriter adalah menyediakan kepemimpinan muda yang karnal. Yang muda, berdedikasi, bermoral kerakyatan, dan punya kemampuan untuk memperbaiki bangsa ini. Tapi, angkatan 98 nyatanya tidak PD! Mereka justru terpecah dan gagal dalam menemukan perubahan mendasar. Mereka seolah-olah telah memberi "tiket gratis" kepada partai politik untuk mengemban amanah reformasi. Padahal, jelas-jelas partai politik lebih culas dan genit kekuasaan, dari pada memerhatikan rakyat. Dalam bahasa Kompas, partai-partai di Indonesia tidak lebih dari partai "Janus." Hak angket impor beras tandas, interpelasi gagal, apalagi....? Malah mereka memainkan drama reshuffle kabinet untuk pembagian kekuasaan. Masya'allah...

Lalu apa yang akan dilakukan gerakan mahasiswa dalam kondisi seperti ini? bersambung...

Friday, 4 May 07'
I like Friday. Pagi2 Q cuci baju, yang sempat terlantar hampir 2 minggu, jorok yah! Abis shalat Jum'at Q kembali edit buku Sabri Saiman. Lumayan, udah nyampe bab 3. Jam 3 Q jalan ama temen sekelas untuk ikut pelatihan jurnalistik. Wah, pesertanya banyak banget. Wajah lamanya cuman Gw. Yg laen anak2 baru smua. Namun tak apa. Q seneng bisa kumpul ma anak2 yg suka nulis. Selesai jam 17.30. Udah gitu Q jalan ke kampus. Mata kuliah hari ini Politik Luar Negeri Asia Tenggara. Rencana sih pengen bahas ttg rencana mata uang kolektif di Asia: Dirham! Rencana ini ditujukan untuk menyaingi Uero dan Dollar. Tapi, 5 menit Q ikut kuliah kemudian bubar. Sayang banget. Abis magrib Q buru2 jalan ke Paramadina University untuk bedah buku dan ultahnya Om M. Dawam Raharjo. Wah, disitu banyak bgt intelektual2 indonesia, mulai dari yg tua seperti Facri Ali, Ulil, Daniel Dhakidai, Syafi'i Maarif, dst. Mereka saling beromantisme dg masa lalu, di mana mereka sepertinya menikmati sejengkal demi sejengkal langkah/berproses menjadi intelektual. Q tergugah. Q kembali semangat untk terus belajar agar bisa menyaingi mereka!. Selesai jam 9. Perjalanan kemudian Q teruskan ke Cipete: ngambil buku di rumahnya Vera Febianty, anggota DPR. Trus Q mampir bentar ke NC dan pulang. Pe rumah udah jam setengah 12. Temen Q ga bukain pintu, sebel. trus Q jalan aja ke tmpt Om di Rawamangun. Oyah, hari ini juga ada kabar buruk. Kakek Q masuk RS karena Typus. Tapi syukur, kata keluargaku hanya akan dirawat beberapa minggu saja. sekarang Q mo ngenet pe pagi ah, mumpung gratis! besok semoga lebih baik dari hari ini. AMin...

Kamis, 26 April 07'

Semalem gw nyusun daftar isi buku biografi Sabri Saiman sampe jam 2 malam. Pengennya langsung mo nonton Chelsea vs Liverpol. Tapi, huh, capek banget nih badan. So, badanku langsung abruk di kasur. Bangun pagi-pagi jam setengah 7 lantas bikin kopi tapi agak pait bung! maklum gula sekarang mahal. Sambil olah badan gw baca koran di depan halaman. Beritanya tentang korupsi. Tak lama kemudian gw cuci muka (gak mandi). abis dingin banget bung! semalem aja abis kehujanan sepulang dari kampus. jadi, gw pikir ntar mandi di NC ajalah. Jam 8 gw berangkat ke NC, sampai setengah 9. gw liat bos lagi marah-marah. tahu tuh, buku biografi bang Imad yang rencana diluncurkan beberapa hari lalu ternyata belum jadi. Pancetaknya orang gila, masa udah 3 bulan gak jadi-jadi? katanya. udah gitu gw tunjukin hasil rumusan daftar isi yang gw buat semalem. Bos bilang bagus, tapi kemudian ditambah beberapa sub judul yang lupa gw sertakan.

Sore nanti gw harus rapat di STIAMI. rapat buat persiapan Konggres BEM Nusantara mei mendatang di Jakarta. Tapi sebelumnya gw harus nagih buku ke pencetak gila itu di Cililitan. Sore kuliah Pak Abang. Gw demen debat sama Pak Abang. Orangnya wawasannya luas benget bung! Sampe kadang-kadang kita kena skak mat!

Tks God. Gw makin banyak aktivitas aja nih. Walau duit terbatas, rasanya senang jika bisa berbuat sesuatu..

Jejak-jejak Realisme Sosialis di Indonesia

Dari Pram, Rendra, & Wiji Thukul

Prasetyo


Seni bukanlah sesuatu yang kosong dan tidak berpihak. Namun, seni mempunyai pemihakan yang besar, yakni atas suara hati nurani. Sementara, hati nurani identik dengan kejujuran dan kepolosan. Penyair haruslah berjiwa ’bebas dan aktif’, kata Wiji Thukul. Bebas dalam mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kebenaran yang pernah diyakininya. Dengan kebebasan, penyair dapat leluasa mengapresiasi kegelisahannya terhadap diri, masyarakat, bangsa, bahkan dunia.

Kedekatan seni dengan realitas inilah inti dari aliran realisme sosialis. Realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan mereka berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana ”penyadaran” manusia yang terasing dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.

Analisis tentang segi-segi realisme sosialis di Indonesia, dapat ditinjau dari roman-roman Pramoedya Ananta Toer, puisi-puisi Rendra atau puisi-puisi Wiji Thukul. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer, telah memberikan penyadaran bahwa sejarah telah dibelokkan sedemikian rupa oleh kekuasaan. Wajah historis Indonesia pun terkuak karena novel-novel Pram. Bumi Manusia, bumi tempat berpijak rakyat Indonesia ternyata masih bercokol tatanan kerajaan yang tersisa secara ideologis, juga cengkeraman tentara dan elit “tuna moral” kerakyatan. Novel-novel sejarah Pram hingga saat ini telah merasuki ruang berpikir anak-anak muda guna menggugat kebenaran sejarah. Novel-novel Pram yang terkenal antara lain, Tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Selain Pram, WS. Rendra hadir dalam dunia sastra Indonesia meretakkan kebekuan pengecut dunia seni-sastra yang bersifat individualis dan absurd. Realitas adalah pijakan Rendra. Kritiknya bukan hanya tajam tetapi juga dapat menggerakkan ratusan mahasiswa untuk berkumpul mendengarkan puisinya yang menguak luka sejarah penindasan. Estetika perlawanan mulai bangkit, maka disusunlah strategi-taktik perlawanan yang efektif. Kampus yang awalnya menjadi muara gading kekuasaan, mahasiswa mulai mengorganisir massa.

Dengan puisi-puisi perlawanan di dalam hatinya, Kedung Ombo didatangi, dibacakanlah keperihan rakyat akibat peristiwa perampasan, pembunuhan, dan penyingkiran Orde Baru terhadap kemanusiaan. Tahun 1990-an, Wiji Thukul hadir menggetarkan dunia sastra dengan puisi-puisi kerakyatannya. Ia bersama kaum muda PRD (Partai Rakyat Demokratik) terlanjur menjadi berani dan melawan. Wiji Thukul adalah satu-satunya yang berani menyatakan bahwa estetika yang sejati adalah estetika yang berprinsip: "Hanya Satu Kata: Lawan!". PRD dan Thukul sadar bahwa fase 1990-an adalah fase memimpin keberanian rakyat, mendobrak kebekuan perjuangan elitis dan pragmatis. Prinsip radikalisasi ala Mas Marco dan Tirto Adisuryo sebagai sastrawan jaman pergerakan ditegaskan sebagai bagian hakiki dari sejarah. Puisi-puisi Thukul adalah sejumlah kesaksian yang begitu tegar, getir, dan siap menjadi pisau. Ia menyadarkan ruang pikir kita bahwa ternyata hidup tidak hanya berisi kesenangan semata. Thukul memaparkan pula, bagaimana ia mencintai perempuan, dengan bermodal baju yang loak pundaknya. Pemakaian simbol binatang banyak pula hadir, simak dalam sajak Tikus (Aku Ingin Jadi Peluru: 160-161). Thukul mencoba menggugat tentang kekalahan si kecil dengan yang besar. Kita pun dihadapi dalam sebuah hukum rimba, siapa yang menang dialah yang berkuasa:

Seekor tikus
pecah perutnya
terburai isinya
berhamburan dagingnya

seekor tikus mampus
dilindas kendaraan
tergeletak
di tengah jalan
kaki dan ekornya
terpisah dari badan
darah dan bangkainya
menguap bersama
panas aspal hitam
siapa suka
melihat manusia dibunuh
semena-mena
ususnya terburai tangannya
terkulai seperti tikus selokan
mampus digebuk
dibuang di jalan
dilindas kendaraan

kekuasaan sering jauh lebih ganas
ketimbang harimau hutan yang buas
korbannya berjatuhan
seperti tikus-tikus
kadang tak berkubur
tak tercatat
seperti tikus dilindas kendaraan lewat …

Kau bersedia
diumpamakan
seperti tikus?

Kekerasan demi kekerasan oleh Orde Baru ternyata masih juga dilakukan. Aktivis pemberani ditangkap, diculik, dan dibunuh. Tetapi keberanian terlanjur menyebar. Dalam Bunga dan Tembok tampak juga bagaimana Thukul menghardik kekuasaan tiran:

… jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan:engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami
di mana pun tirani harus tumbang!

Sementara, kedekatan Thukul dengan realitas sosialnya dapat ditinjau dari puisi, Nyanyian Akar Rumput (Aku Ingin Jadi Peluru: 9):

Jalan raya dilebarkan
kami terusir
mendirikan kampung
digusur
kami pindah-pindah
menempel di tembok-tembok
dicabut
terbuang

kami rumput
butuh tanah
dengar!
Ayo gabung ke kami
Biar jadi mimpi buruk Presiden

Kini, Pram sudah meninggal. Rendra sudah tua. Thukul juga menghilang begitu saja. Namun, jejak-jejak sastra realisme sosialis akan selalu hadir merasuki ruaang pikir generasi kritis. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari puisi, drama (teater), hingga novel dan buku-buku kritis lainnya. Realisme sosialis akan selalu hadir seiring tumbuhnya bakteri anti hati nurani. Bakteri itu adalah kekuasaan bengis lagi anti-rakyat.[]

Selasa, 24 April 2007

Hidup dari menulis. Bukan berlebihan. Walau kemampuan menulisku masih rata-rata, aku dipercaya untuk mengedit buku biografi H. Sabri Saiman, anggota DPR. Selain itu, dosenku minta dibuatin makalah untuk dijual, katanya. Yah, lumayan lah buat bertahan hidup. Maka, yang harus terus aku lakukan adalah konsentrasi, semangat, dan terus belajar. Aku juga gak tahu siapa yang sekarang memotivasiku. Setelah seorang sahabat nan jauh di sana memutuskan untuk "putus dulu," akhir-akhir ini aku mencari motivasi dari diriku sendiri. Seberapa aku kuat? Kuserahkan pada waktu. Yang jelas, Tuhan pastinya sayang sama aku. Gak mungkin Tuhan ngasih cobaan yang gak kuat aku tanggung. Ok, tetap semangat dan berprestasi!

IPDN: Dibubarkan atau Dirombak?

Prasetyo


Kekerasan di IPDN yang mengakibatkan kematian Cliff Muntu, telah memancing kegerahan berbagai pihak. Pro dan kontra pembubaran IPDN mulai memanas. Pihak yang pro beranggapan bahwa di IPDN telah terjadi penyiksaan yang sungguh mengerikan. Menurutnya, tak mustahil budaya kekerasan ini akan terus berlanjut, kendati ada perubahan sistem. Sementara, yang kontra berpendapat bahwa pembubaran IPDN adalah mubazir. Pembubaran IPDN akan berdampak pada kerugian terbengkalainya infrastruktur pendidikan di kampus Jatinangor tersebut. Selain itu, keberadaan IPDN awalnya dirancang untuk kepentingan bangsa dan negara. Jadi, perlu solusi terbaik yaitu membenahi sistemnya.


Perbedaan pendapat halal hukumnya, sepanjang disertai argumen yang tepat demi kemaslahatan bersama. Namun sebelum menentukan sikap, ada baiknya kita menganalis faktor-faktor penyebabnya. Pada awal pendiriannya, IPDN (dulu STPDN) memasukkan pendidikan militer dalam kurikulumnya. Hal ini dimaksudkan untuk mendidik mental kepribadian dan disiplin. Namun, setelah para pelatih dari AKABRI ditarik kembali, tidak ada lagi pelaksana kurikulum kemiliteran di IPDN yang profesional. Akibatnya, pendidikan kemiliteran yang diterapkan tidak mengikuti garis resmi. Dengan kata lain, yang terjadi kemudian bukanlah pendidikan kedisiplinan, namun pendidikan yang bermuatan kekerasan. Sebagai konsekuensi dari pendidikan bermuatan kekerasan ini, kemudian terjadi dendam senioritas. Kekerasan dibalas kekerasan. Mungkin demikian semboyan senioritas yang berlaku di IPDN. Tadinya kita berharap terkuaknya kematian Wahyu Hidayat [2003], dapat memutus mata rantai kekerasan di IPDN. Namun, kenyataannya kekerasan masih dibudayakan dari generasi ke generasi.


Ada dua alternatif yang bisa ditawarkan. Pertama, perombakan ini mengacu kepada UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jika ingin IPDN tetap berstatus sebagai institut penghasil S1, penyelenggaraan pendidikannya harus berada langsung di bawah Depdiknas. Kedua, IPDN tetap bisa di bawah Depdagri dan bersifat kedinasan dengan berstatus in house training bagi calon PNS saja. Dengan in house training, lulusan IPDN tidak akan menyandang gelar akademik dan hanya bersifat sebagai lembaga kedinasan.Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab utama kekerasan adalah bobroknya sistem di IPDN. Untuk itu, perlu reformasi besar-besaran dalam kurikulum dan silabus IPDN.Selain itu, terjadi ketimpangan antara jumlah mahasiswa dan dosen di IPDN. Jumlah dosen sekitar 100 orang tak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang mencapai 4000-an orang. Akibatnya, kebiasaan militeristik itu tumbuh liar tanpa pengawasan yang berarti dari dosen dan pihak kampus. Akibatnya, besar kemungkinan para mahasiswa IPDN membuat peraturan dan kegiatan tanpa sepengetahuan pihak kampus.


Tegasnya, mari berikan kesempatan bagi IPDN untuk membenahi diri. Kita tunggu dan kita awasi perubahan-perubahan di IPDN. Jika ternyata masih saja terjadi kekerasan, seks bebas, atau narkoba, maka IPDN “halal” hukumnya untuk dibubarkan.[]

Bunga dan Tembok

Wiji Thukul

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi
seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami
di mana pun – tirani harus tumbang!

Bunga dan Tembok

Wiji Thukul

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi
seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami
di mana pun – tirani harus tumbang!

Minggu, 22 April 2007
Hari sudah menjelang pagi. AKu masih menikmati cahaya monitor yang diam. Kali ini yang berbicara adalah pikiranku. Entah sudah melanglang sampai jagad mana. Sambil tetap terbang ke alam maya, masih kucoba kuatkan hati dan luaskan pikiran: KONSENTRASI? Yah, satu hal yang ingin kuprioritaskan minggu-minggu ini adalah cari pekerjaan tetap. Persediaan uangku nipis banget. Hal ini membuatku harus benar-benar irit: fighting spirit! Selain itu, beberapa berkas tulisanku harus kukirim ke media, siapa tahu dimuat untuk bertahan hidup seminggu. Di antara tantangan, cobaan yang silih berganti ini, tetap kucoba selalu mengambil hikmahnya. Tentu ada sebuah misteri sendiri dibalik semua kejadian ini.
Tak ada motivator lain kecuali diriku sendiri saat ini. Motivator "abstrak" yang kini jauh di sana memang tetap mengisi hati. Tapi, hal itu tak cukup untuk mengangkat semangatku agar kembali pulih. Alhamdulilah, kemarin malam aku dapat motivasi luar biasa dari seorang Kyai. Namanya Pak Nurul Huda. Sesaat darah mudaku bangkit dan bergairah untuk menghantam karang dan terbang setinggi langit. Namun itu tak berlangsung lama. Ketika harus menapak ke bumi lagi, badanku sempoyongan bak alergi naik kapal udara! Tapi aku tetap yakin, walau perlahan perubahan pasti terjadi. AKu yakin, seyakin ku percaya pada Tuhanku yang Agung.
Wahai pagi, sirami aku dengan embun pencerahanku...

Kamis, 19 April 07
Kemarin aku nulis dua tulisan. Pertama tentang Reshuffle kabinet, kedua tentang kekerasan di IPDN. Tulisan itu udah aku kirim ke redaksi Sindo dan Jawa Pos. Ku berdoa agar tulisanku dimuat. Selain buat prestasi, honornya lumayan untuk bertahan hidup seminggu. Sebab, sampai sekarang aku belum dapat pekerjaan lagi.
Tadi ku buka blog friendsternya Azmie. Tak heran jika ia bersikap seperti itu. Ia telah mendapatkan momentum untuk melanjutkan hidup a la-nya. Teruskan perjalananmu sahabat. walau kamu pesimis, tapi aku akan terus berusaha untuk menunggumu. Entah kekuatan Tuhan atau setan yang terus mendorong dan meyakinkan bahwa kita suatu waktu akan bertemu kembali. Yo wis...

MEMEDULIKAN KORBAN LAPINDO

(Dimuat di Koran Sindo, 28 Maret 2007)

Prasetyo


Sudah menjelang sepuluh bulan lumpur Lapindo menyembur. Namun, penyelesaian kasus ini belum menemui titik temu. Hari demi hari masih diwarnai kegamangan hubungan antara negara (state), Lapindo (corporate), dan rakyat Porong (civil society).

Semestinya kegamangan tak perlu terjadi, andaikan ketiga aktor di atas mau memahami duduk perkara yang sebenarnya. Seperti kita ketahui, Lapindo terbukti bersalah dan bertanggung jawab atas dampak yang diakibatkan semburan lumpur. Kerusakan infrastruktur seperti jalan tol, jalan provinsi, rel kereta api, sekolah, dll, serta kerugian warga Porong adalah tanggung jawab Lapindo. Sedang, negara berkewajiban dan bertanggung jawab melindungi dan membela hak-hak korban.

Hingga hari ini, kejelasan duduk perkara itu ternyata belum berhasil menjernihkan persoalan. Buktinya, Lapindo masih saja mbalelo dengan mengulur-ulur pembayaran ganti rugi. Sementara, pemerintah belum sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi cash and carry yang dituntut korban. Di pihak lain, rakyat Porong harus berjuang “sendirian” menuntut hak-haknya.

Ketidakjelasan penyelesaian kasus ini membuat penderitaan korban Lapindo semakin berkepanjangan. Lapindo Brantas telah memberantas hak-hak asasi rakyat Porong. Kelangsungan hidup rakyat Porong di bidang ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, serta hak politiknya terancam.

Tangis dan derita seharusnya membuka kesadaran pemerintah untuk berbuat sesuatu. Maka, agar tak dikatakan “absen” dari tanggung jawabnya, pemerintah harus turun tangan. Atas nama rakyat, pemerintah harus mendesak Lapindo membayar ganti rugi cash and carry. Hal ini mutlak dilakukan karena, pertama, hak-hak asasi korban Lapindo semakin terancam. Yaitu hak milik, hak untuk hidup dalam suatu wilayah, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya, juga hak politik sebagai warga negara.

Kedua, perjuangan rakyat Porong belum mampu meluluhkan hati Lapindo. Dalam hal ini, pemerintah adalah satu-satunya aktor yang mampu mendesak Lapindo melalui kebijakannya. Ketiga, kerugian dan penderitaan rakyat Porong adalah buah kecerobohan Lapindo. Maka, Lapindo harus bertanggung jawab mengganti semua kerugian dan mengurangi penderitaan korbannya.

Selain itu, ketegasan pemerintah berguna untuk menangkis gagasan pembebanan dana. Menurut penulis, gagasan itu tidak realistis karena; (1) lumpur panas Lapindo belum mendapat status bencana alam, (2) dari sisi anggaran negara juga tidak mampu menanggung segala kerugian yang diakibatkan lumpur Lapindo. Selain itu, lumpur panas adalah murni kesalahan Lapindo, dengan demikian bukan menjadi tanggungan APBN, yang merupakan representasi seluruh rakyat Indonesia, (3) jika pemerintah memutuskan untuk membiayai segala kerugian akibat lumpur, dikhawatirkan pemegang saham Lapindo bakal lari dari tanggung jawabnya.

Penderitaan dan aspirasi Korban Lapindo harus dipedulikan. Sebab, tanpa ketegasan dan komitmen untuk menyelesaikan kasus ini, tidak mustahil Rakyat Porong akan melakukan pembangkangan sipil (disobidience society) yang lebih dahsyat.[*]

41 TAHUN SUPERSEMAR

Prasetyo

Minggu (11/3) adalah hari ulang tahun Supersemar ke-41. Hingga kini, hal-hal yang berkaitan dengan Supersemar masih mengandung misteri dan kontroversi. Selebihnya, Supersemar telah mengajari kita bagaimana melakukan proses peralihan kekuasaan secara tak demokratis.

Sebuah Misteri

Negeri ini diliputi banyak misteri. Banyak peristiwa penting dikubur dalam-dalam dari pemikiran umum. Hal ini dilakukan karena peristiwa tersembunyi tersebut mengandung dosa dan aib. Jika dibuka, maka bisa mengancam kepentingan eco-politik si empunya aib.

Salah satu misteri itu adalah Supersemar 1966. Banyak versi dan kontroversi mengenai peristiwa Supersemar. Paling tidak ada dua kontroversi yang berkembang sampai saat ini. Kontroversi pertama, tentang proses penyusunan dan penyerahan Supersemar. Di satu pihak mengatakan, bahwa Supersemar adalah inisiatif Bung Karno, untuk menyikapi kondisi politik dan keamanan pasca Gerakan 30 September. Supersemar memberikan “mandat” kepada Letjend. Soeharto untuk menjamin keamanan, ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi.

Sementara, pendapat lainnya bahwa Supersemar dibuat bukanlah atas kemauan Bung Karno sendiri. Mengutip Asvi Warman Adam (2007), pada tahun 1998, anggota Tjakrabirawa Letnan Dua (Purn.) Soekardjo Wilardjito mengaku bahwa Jenderal Panggabean menodongkan pistolnya kepada Bung Karno. Dengan kata lain, penugasan tersebut diberikan dalam keadaan terpaksa. Pada gilirannya, orang bisa menduga bahwa pada bulan Maret 1966 itu terjadi semacam kudeta.

Kontroversi kedua, tentang keberadaan Supersemar. Pada tahun 1980, Sekretariat Negara menyatakan bahwa Supersemar asli telah hilang. Kendati hilang, namun copy teksnya masih tersimpan. Paling tidak ada dua berkas faksimili tentang hal tersebut; dalam majalah Tempo (15 Maret 1986]. Supersemar juga ditemukan dalam dua versi yang berbeda. Ada yang dua lembar halaman dan ada yang satu lembar halaman. Lucunya, kendati bunyi teks keduanya serupa, namun format dan tandatangan Bung Karno tidak sama, kop suratnya pun berbeda [David Bourchier, 2006].

Di atas kontroversi tersebut, akhir-akhir ini banyak kalangan yang mengajak “melupakan” sejarah Supersemar. Mereka tak henti-hentinya menyerukan untuk mengakhiri perdebatan tentang Supersemar. Intinya, mereka tak henti-hentinya mengkampanyekan bahwa Supersemar dan Orde Baru telah berhasil merealisasikan cita-cita kemerdekaan politik-ekonomi, yang ditunjukkan dari stabilnya kondisi politik dan keamanan serta tercapainya kebutuhan rakyatnya.

Apakah sesederhana itu perilaku kita dalam memahami Supersemar? Tentu tidak. Sebab, Supersemar merupakan sejarah penting yang wajib dituntaskan duduk perkaranya. Hal ini karena tidak menutup kemungkinan model peralihan kekuasaan yang “janggal” ini bakal terulang kembali.

Pengkhianatan Pak Harto

Mengutip David Bourchier (2006), isi Supersemar adalah: “Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS, demi keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.”

Apakah isi Supersemar tersebut dijalankan sebagaimana mustinya oleh Pak Harto? Kalau kita telusuri dari berbagai langkah atau tindakan Pak Harto sebagai “pengemban” Supersemar, apa yang dilakukannya sangat berlawanan dengan isi surat perintah tersebut. Beberapa kejanggalan tersebut antara lain; pertama, perintah untuk menjamin keamanan dan ketentraman rakyat, nyatanya menghasilkan penangkapan, teror, serta pemenjaraan terhadap jutaan anggota dan simpatisan PKI. Dengan kata lain, Pimpinan Angkatan Darat telah mengambil berbagai tindakan yang merusak kestabilan pemerintahan di bawah pimpinan Bung Karno dan jalannya revolusi.

Kedua, apa yang dilakukan Pak Harto dan kawan-kawannya terhadap Bung Karno sama sekali tidak menjamin kewibawaan beliau sebagai presiden. Bahkan, pimpinan Angkatan Darat kemudian menjadikan Bung Karno sebagai tapol. Ketiga, Pak Harto dan kawan-kawan juga tidak melaksanakan ajaran pimpinan besar revolusi, bahkan sebaliknya, menghancurkan segala ajarannya. Di antara ajaran itu yakni, Pancasila, anti-imperialis dan anti-nekolim, Nasakom, Manipol, semangat gotong royong, pengabdian kepada kepentingan rakyat kecil, dan persatuan Indonesia. Dan keempat, Pak Harto juga tidak memberi laporan kepada Bung Karno tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawabnya, seperti tercantum dalam Supersemar.

Oleh karena itu, Supersemar adalah bukan saja awal kejahatan dan pengkhianatan terhadap Bung Karno, melainkan juga kejahatan dan pelanggaran HAM terhadap jutaan korban peristiwa 65 dan sebagian besar rakyat Indonesia lainnya.

Jangan Sampai Terulang

Supersemar telah memberikan keuntungan politik besar kepada Pak Harto dan kawan-kawannya. Puncaknya, pada 12 Maret 1967 Pak Harto diangkat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi Presiden Indonesia. Sehingga, Supersemar dikenal sebagai tonggak berdirinya rezim orde baru.

Sudah menjadi hukum sejarah, ketika sebuah rezim berkuasa menggantikan rezim lama, maka dengan serta merta rezim baru akan membangun sebuah tatanan dengan paradigma tersendiri. Perubahan itu menyangkut perubahan struktur politik, tatanan birokrasi, serta aturan-aturan undang-undang dan hukum. Menyangkut Supersemar, Orde Baru menganggapnya sebagai titik balik angkatan 66 dalam berkomitmen mengamalkan Pancasila dan UUD-45. Dalihnya, dengan mengamalkan Pancasila dan UUD-45 secara “murni dan konsekwen,” maka secara perlahan demokrasi serta pemajuan ekonomi rakyat akan tercapai.

Menurut penulis, Supersemar merupakan sebuah alat peralihan kekuasaan yang tidak demokratis. Supersemar merupakan puncak dari proses “kudeta merangkak” Pak Harto dan kawan-kawannya, yang telah dilakukan sejak 1 Oktober 1965. Karena itu, jangan sampai proses peralihan kekuasaan yang tak demokratis ini terulang kembali.

Diakui, secara empirik negeri ini memang belum mempunyai aturan main dalam peralihan kekuasaan. Akibatnya, “Supersemar jilid II” pun terjadi kembali pada reformasi Mei 1998. Di luar dari alasan menurunkan rezim jahat, gerakan demonstrasi penurunan rezim ternyata tidak menjamin terciptanya pemerintahan yang demokratis dan berkelanjutan. Gerakan demi gerakan penurunan rezim itu “hanya” berhasil mengganti rezim. Mereka “gagal” mengganti tatanan sosial dan politik rezim sebelumnya. Selebihnya, gerakan-gerakan itu “hanya” berhasil menghasilkan sebuah masa transisi. Padahal, masa transisi demokrasi merupakan sebuah masa yang maha berat, yang tak segan-segan menelan banyak korban. Transisi “hanya” menghasilkan keadaan limbo, yaitu keadaan di mana aturan lama sekarat, sedang aturan baru tak kunjung kuat. Akhirnya, pemerintahan pun didominasi oleh pemain lama berbaju baru, dan pemain baru bermental lama.

Maka dari itu, Pemilu adalah jawabannya. Pemilu merupakan mekanisme peralihan kekuasaan yang demokratis, kendati tidak serta-merta menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Kita berharap jangan sampai proses peralihan kekuasaan yang tak demokratis ini terulang kembali. Gerakan “cabut mandat” yang santer akhir-akhir ini, semoga bukan dalam rangka mengulang kesalahan sejarah. Sebab, akan menjadi bangsa yang merugi dan malang kalau kita tidak meletakkan sejarah untuk keperluan pembelajaran dan kemudian membangun hari esok.[*]

KAPAL KITA BERLAYAR KE BARAT

Prasetyo


Dalam voting anggota Dewan Keamanan PBB, Sabtu (24/3), Indonesia mendukung resolusi 1747 atas pengayaan nuklir Iran. Menlu Hassan Wirayuda mengatakan, Indonesia mendukung resolusi karena mengatur penghapusan dan larangan pengembangan senjata nuklir di Timur Tengah. Apakah tindakan ini tidak melenceng dari politik bebas-aktif?


Inilah potret teranyar wajah politik luar negeri kita. Nampaknya, Kementrian Luar Negeri RI terlalu asyik dalam discourses situasi internasional, tanpa mempertimbangkan suara masyarakat politik di tanah air. Dampaknya, keputusan “sepihak” itu menuai kecaman dan kritik. Dua ormas Islam terbesar yaitu NU dan Muhammadiyah melancarkan kecaman tajam atas keputusan tersebut. Sementara, Front Anti-intervensi Amerika, Gus Dur, serta lapisan masyarakat lainnya menyatakan hal serupa (Sindo, 28/3). Selain itu, para wakil rakyat yang sempat dihebohkan oleh laptop, tiba-tiba mengajukan hak interpelasi. Hingga Kamis (29/3), surat usulan penggunaan hak interpelasi telah diteken 276 anggota DPR (Sindo, 30/3).


Sejak awal, doktrin politik luar negeri bebas-aktif dianggap sebagai komitmen nasional yang harus dipegang teguh. Sehingga, ketika ada pelanggaran terhadap doktrin tersebut pastilah akan mengundang kritik yang tajam. Seperti kita ketahui, politik bebas-aktif mengandung dua unsur pokok. Pertama, “bebas” bisa diartikan tidak terlibat dalam aliansi militer atau pakta pertahanan dengan blok Timur (Soviet) dan blok Barat (AS). Dalam arti luas, politik yang “bebas” menunjukkan tingkat nasionalisme yang tinggi karena menolak keterlibatan atau ketergantungan terhadap pihak luar yang dapat mengurangi kedaulatan negara.


Kedua, “aktif” menunjukkan bahwa politik luar negeri Indonesia tidak boleh pasif dan hanya mengambil sikap netral dalam menghadapi permasalan-permasalahan internasional. Pembukaan UUD 1945 secara jelas menuntut Indonesia untuk menentang segala bentuk penjajahan dan ikut memajukan perdamaian dunia.


Dari masa ke masa praktik politik bebas-aktif masih terasa ambigu. Pada masa Orde Lama, Indonesia menjadi salah satu deklarator gerakan non-blok. Namun, seiring dengan pengaruh perang dingin, Indonesia akhirnya lebih dekat dengan blok Timur yang komunis. Pada masa Orde Baru, Indonesia tetap menjadi anggota gerakan non-blok. Namun, perilaku Pak Harto lebih terlihat “mesra” dengan blok kapitalis.


Saat ini, sejak Indonesia menyatakan mendukung resolusi 1747, maka “kapal kita sudah berlayar ke Barat.” Keputusan mendukung resolusi telah mengingkari doktrin politik bebas-aktif. Pasalnya, bukan politik bebas dan aktif yang ditonjolkan, tetapi lebih kepada kepentingan eco-politis. Dicurigai, kunjungan Presiden Bush ke Indonesia beberapa waktu lalu, merupakan kampanyenya untuk “membujuk” Indonesia mendukung resolusi ini. Padahal, suara rakyat mengatakan bahwa kepentingan kemanusiaan, keadilan, dan solidaritas dunia Islam lebih penting daripada kepentingan eco-politik semata.


Pemerintahan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjodjo jatuh pada tahun 1952, gara-gara Menlu Subardjo secara diam-diam sepakat menerima bantuan ekonomi Amerika. Akankah hak interpelasi DPR dapat membuat nasib pemerintahan SBY seperti pemerintahan Perdana Menteri Sukiman?
[*]

“Absennya” Gerakan Mahasiswa

Prastiyo

Saat ini, mengandalkan perubahan besar bangsa/masyarakat ke pundak mahasiswa mungkin sudah tak relevan. Hipotesis ini bisa dibuktikan dari “absennya” gerakan mahasiswa dalam berbagai momentum politik mutakhir. Berbagai kealpaan pemerintah, ternyata belum membuat mahasiswa Indonesia bangkit dan melawan. Sebenarnya, ada apa dengan gerakan mahasiswa?

Tak dapat dihitung berapa kali gerakan mahasiswa “absen” dari tanggung jawab sosio-politiknya. Dewasa ini, paling tidak ada tiga momentum besar yang luput dari sorotan gerakan mahasiswa. Pertama, isu reshuffle kabinet. Perombakan kabinet telah bergulir menjadi perdebatan ramai di publik. Pro dan kontra terus memanas, namun pemerintah tak kunjung mengambil sikap tegas. Padahal, perombakan kabinet merupakan kunci untuk; (1) efektifitas/efisiensi kinerja kabinet (the right man on the right job), (2) membersihkan kabinet dari orang yang tak cakap. Dalam hal ini, gerakan mahasiswa belum menunjukkan sikap yang jelas, baik di ranah wacana maupun di lapangan.

Kedua
, isu tumpulnya tanggung jawab negara. Kelambanan pemerintah dalam menangani bencana dan musibah, membuat tanggung jawab pemerintah kian merapuh. Contohnya dalam kasus lumpur Lapindo, negara dinilai “gagal” membela dan melindungi hak-hak rakyat Porong di bidang ekonomi, sosial, budaya, serta hak politik. Menyangkut isu ini, lagi-lagi suara mahasiswa sumbang.

Ketiga
, dukungan pemerintah terhadap resolusi DK PBB atas pengayaan nuklir Iran. Keputusan ini dinilai sepihak dan tidak mengakomodir masyarakat politik di tanah air. Pemrintah lebih mementingkan kepentingan eco-politik jangka pendek, ketimbang “menentang segala bentuk penjajahan dan ikut mamajukan perdamaian dunia.” Karena itu, publik menilai dukungan terhadap resolusi itu adalah pelencengan terhadap politik bebas-aktif. Padahal, atas sikap tersebut DPR telah mengajukan interpelasi. Sementara NU dan Muhammdiyah juga mengecam keputusan tersebut. Bagaimana sikap gerakan mahasiswa? Hingga saat ini, isu itu juga belum membangkitkan libido gerakan mahasiswa untuk “melawan.”

Mengapa gerakan mahasiswa cenderung bersikap diam? Sesungguhnya, penyakit ini sudah terdiagnosis sejak reformasi 1998 digulirkan. Pasca 1998, gerakan mahasiswa terpecah dan gagal menemukan harapan akan perubahan fundamental. Sebaliknya, berkembang suatu kecenderungan padat politisasi (intense politicization), merasa benar sendiri, serta miskin agenda dan strategi. Hasilnya, mimpi aksi bersama menjadi aneh dan jauh panggang dari api. Sebaliknya, realisasi aksi berbendera sendiri-sendiri “diimani” sebagai jalan keluarnya.

Untuk itu, agar tidak dikatakan “absen” dari tanggung jawabnya, gerakan mahasiswa harus membenahi diri. Pertama, melakukan peleburan individu-individu idealis menjadi historical bloc (kesatuan gerak perlawanan). Yaitu satu kesatuan yang mempertautkan pelbagai ensemble gugus identitas ke dalam front bersama. Kedua, gerakan mahasiswa harus menyadari adanya musuh bersama, yaitu kelambanan negara dan menguatnya neo-liberalisme dalam struktur negara. Ketiga, menyediakan kepemimpinan moral dan intelektual hegemonic yang membedakannya dari partai politik dan parlemen. Dengan cara ini, gerakan mahasiswa akan “gagah” dalam merespons perubahan sosio-politik mutakhir.[*]