Sunday, May 27, 2007

The Young And The Hopeless

Hard days made me
Hard nights shape me
I don’t know they somehow saved me

And I know I’m making something
Out of this life they called nothing
Take what I want, take what I need
They say it’s wrong, but it’s right for me
I won’t look dow, won’t say I’m sorry
I know that only God can judge me

And if I make it through today
Will tomorrow be the same?
Am I just running in place?
And if I stumble and I fall
Should I get up and carry on?
Will it all just be the same?

’cause I’m young and I’m hopeless
I’m lost and I know this
I’m going no where fast, that’s what they say
I’m troublesome, I’m falling
I’m angry at my father
It’s me against this world and I don’t care
I don’t care…

And no one in this industry
Understand the life I lead
When I sing about my past
It’s not a gimmick, not an act
These critics and these trust fund kids
Try to tell me what punk is
But when I see them on the street they got nothing to say

And if I make it through today
Will tomorrow be the same?
Am I just running in place?
And if I stumble and I fall
Should I get up and carry on?
Will it all just be the same?

’cause I’m young and I’m hopeless
I’m lost and I know this
I’m going no where fast, that’s what they say
I’m troublesome, I’m falling
I’m angry at my father
It’s me against this world and I don’t care
I don’t care…

I don’t care…
I don’t care…
And now, I don’t care

I’m young and I’m hopeless
I’m lost and I know this
I’m going no where fast, that’s what they say
I’m troublesome, I’m falling
I’m angry at my father
It’s me against this world and I don’t care
I don’t care…
I don’t care…
I don’t care…




Friday, May 25, 2007

Gerakan Kaum Muda

From Social Movement To Political Movement

Pemuda Haus Revolusi

Di mana dan apa sejatinya yang harus dilakukan oleh kaum muda di tengah munculnya distrust society dan keputusasaan terhadap kaum tua yang diangap tidak mampu menyelesaikan krisis bangsa ini? Dan, apakah gerakan kaum muda itu gerakan harus memilih ‘moral’ atau ‘politik’? Adalah dua pertanyaan yang menyiratkan kekaburan pandangan kita tentang moralitas dan politik. Dalam penghadapan kedua istilah tersebut terkesan (seolah-olah) bahwa gerakan politik tidak mengandung muatan moral, sementara gerakan moral tak mengandung muatan politik.

Sejatinya, politik adalah suatu karsa untuk menegakkan moralitas dan rasionalitas publik. Tindakan berpolitik, menurut Hannah Arendt (1973), merupakan salah satu human condition yang berbasis aksi bersama dalam memperjuangkan kepentingan secara berkeadaban (civic). “Menjadi warga politik,” tulis Arendt, “berarti hidup di dalam suatu polis, tempat segala sesuatu diselesaikan lewat argumentasi dan persuasi, bukan lewat kekerasan dan paksaan.” Di dalam tradisi Yunani, memaksa orang lewat kekerasan, kebiasaan mengomando ketimbang membujuk, dinilai sebagai cara-cara pra-politik, yang dinisbatkan kepada karakterisitik orang-orang yang hidup di luar polis. Kata politik, dengan demikian, menyiratkan kehidupan ideal yang diimpikan. Bila saat ini politik menjadi kata yang berlumuran caci maki dan terkesan hampa moralitas, pastilah ada yang tak beres dalam sejarah kehidupan politik kita.

Jika politik mengandung moral imperatives, maka perjuangan moral--kebenaran, keadilan dan rasio (meminjam Julien Benda), sebagaimana bentuk-bentuk perjuangan lainnya, selalu mengandung relasi-relasi kuasa tertentu. Dan setiap bentuk relasi kuasa, secara tak terhindarkan, memiliki dimensi dan esensi politiknya tersendiri. Pada kenyataannya, moralitas bukanlah kualitas-kualitas ideal-abstrak yang bersifat transendental, melainkan sesuatu yang lebih nyata (worldly) yang mesti diperjuangkan. Meminjam ungkapan Foucault (1979: 46), “Truth is of the world; it is produced there by virtue of multiple constrains…Each society has its regime of truth, it is ‘general politics’ of truth…” Dengan kata lain, sekali klaim moralitas diperjuangkan, bahkan untuk tujuan-tujuan non-politik selalu mengandung “pertarungan-pertarungan kuasanya tersendiri”. Oleh karena itu, tak terelakkan penjelmaannya menjadi gerakan politik.

Tentu saja ada bermacam bentuk gerakan politik. Bisa berbentuk partai politik, kelompok kepentingan (interest group), bisajuga dalam bentuk ‘gerakan sosial’ (social movement). Ekpresi politik dari partai politik lebih menekankan penguasaan sumberdaya kekuasaan dengan dukungan sistem pengorganisasian yang terpusat dan hierarkhis. Interest group lebih berorientasi pada upaya mempengaruhi kebijakan publik melalui serangkaian lobby dan kerjasama non-formal dengan para pengambil keputusan. Sedang social movement lebih beorientasi pada upaya memperjuangkan agenda-agenda sosial tertentu dengan cara-cara mobilisasi yang kurang terstruktur dan cara artikulasi yang tidak baku.

Gerakan kaum muda lebih sering menunjukkan karakteristik sebagai ‘gerakan sosial’ (social movement). Menurut Donatella della Porta dan Mario Diani (1999), akademisi dari pelbagai latar teritorial dan teoritis berbagi pemahaman yang sama mengenai karakteristik social movement, setidaknya menyangkut empat hal.

Pertama, aksi bersamanya merupakan hasil dari jaringan interaksi informal, yang melibatkan keragaman individu, kelompok dan/atau organisasi. Suatu jaringan yang sanggup mempromosikan kerangka interpretasi (systems of meaning) serta ‘sirkulasi suberdaya-sumberdaya esensial’ bagi aksi bersama. Kedua, adanya solidaritas dan keyakinan yang sama, sebagai sumber dari kehendak dan identitas bersama.

Ketiga, gerakan sosial menceburkan diri pada situasi konflik, baik konflik sosial, politik, ekonomi maupun kultural. Dengan konflik yang dimaksud adalah hubungan oposisional antar aktor-aktor politik yang berusaha mengontrol hal (stake) yang sama.

Keempat, gerakan sosial mengadopsi pola-pola ekspresi politik yang tak lazim (unusual). Berbeda dari ekspresi partai politik yang terstruktur, artikulasi kolektif dari social movement penuh improvisasi melampaui batas-batas konvensional.

Sebagai tambahan, berdasarkan studi Eyerman dan Jamison (1991: 56) menemukan pola perkembangan gerakan sosial sebagai berikut: Pertama, gerakan sosial tumbuh melalui semacam siklus hidup (life cycle), dari tahap persiapan (gestation), disusul oleh tahap pembentukan (formation), menuju tahap konsolidasi (consolidation). Gerakan sosial jarang muncul secara spontan; tetapi memerlukan jangka waktu persiapan. Kedua, tidak ada gerakan sosial yang berhasil tanpa tersedianya ‘kesempatan politik’ (political opportunity), konteks ketertampungan masalah-masalah sosial serta konteks komunikasi yang membuka kemungkinan bagi artikulasi masalah dan penyebarluasan gagasan. Ketiga, gerakan sosial tidak dapat hadir hingga adanya individu-individu yang siap ambil bagian di dalamnya, bersedia mentransformasikan masalah pribadi menjadi masalah publik, serta mau terlibat dalam proses pembentukan identitas kolektif.

Berdasarkan tatapan teoretis di atas, ada beberapa hal yang perlu ditekankan. Di dalam spasi ‘gerakan sosial’, aktor dengan pelbagai latar identitas dan orientasi bersedia berbagi sistem keyakinan dan kehendak bersama melampuai batas (keyakinan dan kepentingan) masing-masing kelompok/organisasi, sambil tetap mempertahankan perbedaan dan kekhasan perangai masing-masing. Dengan kata lain, partisipasi dan otonomi merupakan hal yang esensial dari keberlangsungan gerakan sosial. Salah satu karakteristiknya adalah perasaan terlibat dalam proyek bersama—tanpa secara otomatis menjadi bagian dari suatu organisasi secara terstruktur. Suatu gerakan sosial akan lekas luluh manakala ada pemusatan suara, atau salah satu sektor dari gerakan menjadi terlalu dominan, mengangkangi keragaman artikulasi dan posisi subjek dalam gerakan sosial.

Dalam kaitan dengan pentingnya ketersediaan struktur kesempatan politik (political opportunity structure), studi komparatif yang dilakukan della Porta dan Diani (1999) menunjukkan perlunya kerjasama strategis antara aksi dan aktor gerakan sosial dengan aktor-aktor kelembagaan politik formal. Lebih lanjut dikatakan, keberhasilan suatu gerakan sosial ada kaitannya dengan faktor-faktor ketersediaan aliansi yang berpengaruh, toleransi bagi protes di kalangan elit, derajat keterbukaan atau ketertutupan akses politik formal, derajat stabilitas atau instabilitas aliansi politik, ketersediaan potensi kerjasama strategis, serta konflik politik di antara dan di dalam elit.

Di dalam konteks masyarakat plural yang ditandai oleh kelangkaan ‘kehendak bersama’ (common will), tentu saja ada banyak sistem keyakinan, sistem identitas dan multiple-aliansi, yang menyediakan tanah subur bagi kemungkinan terjadinya polarisasi (antar ‘gugus identitas’) maupun fragmentasi (di dalam suatu ‘gugus identitas’) gerakan sosial. Dalam konteks Indonesia, keterpecahan dan bentrokan identitas itu diperparah oleh ketidakhadiran negara sebagai the essential outsider yang mampu mengambil jarak yang sama terhadap semua gugus identitas. Problem mendasar dari politik Indonesia sesungguhnya adalah keberlangsungan negara pasca-kolonial yang tidak tegak atas dasar prinsip-prinsip supremasi hukum, serta tidak sanggup memberikan perlindungan keamanan dan keadilan bagi segenap elemen kebangsaan dan seluruh tumpah darah Indonesia. Di dalam ketiadaan kepastian hukum, perlindunan keamanan dan keadilan, orang lebih nyaman berlindung di balik warga-tribus (paguyuban komunal dan premanisme) ketimbang warga negara (citizen). Dalam lemahnya formasi kewarga-negaraan (citizenship), gerakan kaum muda pun terjebak ke dalam bentrokan identitas seperti dialami oleh para intelektual terdahulu. Meminjam pandangan Edward Shils (1972):

“Meskipun intelektual di negara-negara pasca kolonial telah memiliki ide kebangsaan di dalam negerinya sendiri, mereka toh belum berhasil menciptakan sebuah bangsa. Malahan, mereka menjadi korban idenya sendiri, ketika nasionalisme tidak mengarah pada perwujudan kewarga-negaraan (citizenship). Keanggotaan dalam suatu bangsa memerlukan rasa pertautan dengan orang-orang lain yang sama-sama membentuk bangsa. Hal ini juga memerlukan rasa kemitraan, dan kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, melunakkan dan menyerahkannya secara toleran terhadap tertib sipil, menganggap hal itu sebagai kurang signifikan ketimbang kepentingan komunitas bangsa secara keseluruhan. Dalam kehidupan politik, watak serupa itu membentuk apa yang disebut sebagai ‘kebajikan sivilitas’ (the virtue of civility).”

Sayang sekali, kebajikan seperti itu bukan merupakan gambaran umum dari kaum intelligentsia-politik di negara-negara tersebut. Yang berkembang di sini adalah suatu kecenderungan ‘padat politisasi’ (intense politicization) yang disertai oleh keyakinan bahwa hanya mereka yang memiliki kesamaan prinsip dan posisilah yang dianggap sebagai anggota absah suatu masyarakat politik (polity). Sedangkan bagi mereka yang berbeda, dikucilkan oleh curam hambatan yang terjal.

Dalam kecenderungan untuk melakukan proses ‘othering’ terhadap identitas yang berbeda, suatu peleburan menjadi suatu historical bloc, yang mempertautkan pelbagai ensemble gugus identitas ke dalam front bersama, hanya dimungkinkan jika terdapat common enemy dan tersedianya kepemimpinan moral and intelektual (hegemony).

Jika terbentukanya hegemony dan historical bloc merupakan respon serempak atas suatu krisis sosial yang akut, sebagai akibat “retaknya lingkungan sosial serta meruyaknya ketidakpastian di dalam suatu situasi sejarah yang genting” (the fracture of the social sphere and the irruption of contingency within category of ‘historical necessity’), maka social movement merupakan gerakan politik yang tumbuh subur di masa krisis. Krisis yang dimaksud di sini, seperti dilukiskan oleh Gramsci (1971: 267), adalah suatu situasi ketika “yang lama tengah sekarat, yang baru tak kunjung lahir”. Dalam situasi anomie seperti itu, aksi kolektif yang tidak terstruktur, seperti dalam bentuk social movement, menyediakan tumpuan alternatif bagi aksi dan solidaritas kolektif. Kehadiran suatu gerakan sosial dalam konteks ini memiliki makna ganda: di satu sisi, merefleksikan ketidakmampuan kelembagaan dan mekanisme kontrol sosial dalam upaya mereproduksi kohesi sosial; di sisi lain, mencerminkan usaha masyarakat untuk bereaksi terhadap situasi-situasi krisis melalui penumbuhan keyakinan dan identitas bersama, sebagai tumpuan bagi solidaritas kolektif.

Peran social movement pada umumnya cenderung surut seiring dengan makin berfungsinya kelembagaan politik formal. Pengalaman negara-negara Eropa Selatan dan Amerika Latin dalam melewati masa transisi menuju demokratisasi, menunjukkan meredupnya kekuatan social movement ketika partai-partai politik dan kelembagaan negara lainnya mampu mengambil alih dan menjalankan agenda-agenda demokratisasi. Itu berarti, hiruk-pikuk aksi mahasiswa Indonesia tampaknya masih akan mewarnai jagad politik nasional, selama kelembagaan politik formal tidak menunjukkan itikad yang sungguh-sungguh serta kesanggupan untuk memperjuangkan agenda-agenda reformasi. Dan dari sini pula, kita kaum muda harus mempertajam reformasi menjadi revolusi. Bravo gerakan kaum muda.[]

Wednesday, May 23, 2007

SUDUT GELAP GLOBALISASI

Prastiyo

Jika kita mendengar istilah globalisasi, yang terbayang dalam pikiran kita mungkin adalah sebuah system yang mengatur ekonomi dunia tanpa mengenal batas-batas Negara (bordeless world). Sehingga dimungkinkan adanya pertukaran modal, tenaga kerja, maupun komoditas-komoditas berupa barang dan jasa antar negara secara bebas dengan tarif 0%. Itu adalah bagian dari globalisasi. System ini benar-benar memberikan kekuasaan pada mekanisme pasar. Proteksi negara untuk berbagai sektor-sektor ekonomi sedikit demi sedikit mulai dikurangi. Madeley dan Solagral (2001) memberikan pengertian mengenai liberalisasi perdagangan ini, yaitu proses pengurangan dan pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif dan non tarif secara sistematis antar negara sebagai mitra dagang.

Melihat fenomena system ekonomi di atas, kita dapat mengetahui adanya kesamaan dengan system ekonomi yang diterapkan di negara-negara barat, yaitu system ekonomi liberalisme. Yaitu system ekonomi yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada individu untuk berusaha dan sekaligus meminimalkan peran pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Paham ini percaya bahwa kemakmuran negara akan terwujud bila masing-masing individu dalam negara tersebut juga makmur dengan memberikan kebebasan berusaha yang seluas-luasnya kepada warga negaranya. Dari keterkaitan itu dapat dipahami jika ide globalisasi digulirkan dan benar-benar diperjuangkan oleh negara-negara barat. Sebab, globalisasi secara ekonomi sangat menguntungkan mereka. Investasi mereka tidak akan terhambat oleh tarif dan non tarif ekspor impor komoditas perdagangan. Dan ini terbukti sangat efisien. Namun lain halnya dengan negara berkembang, dengan masuknya barang-barang dari negara maju, pada tingkat tertentu akan menyaingi dan bahkan mematikan produksi barang-barang dari negara berkembang, yang notabene masih diproduksi secara tradisional dengan manajemen yang sederhana. Ini adalah salah satu dampak nyata dari globalisasi/liberalisasi. Walaupun dalam perkembanganya, semua negara, termasuk negara berkembang, ikut meng-amin-i ide globalisasi ini.

Bagaimanapun juga tantangan globalisasi tidak hanya menjadi momok bagi negara berkembang saja tetapi negara maju juga mengalami ketakutan yang sama. Negara maju menginginkan tekhnologi dan barang-barang yang dihasilkanya tidak terhambat untuk menjamah pasar-pasar negara berkembang, tetapi sekaligus berusaha keras menghambat agar produk-produk dari hasil industri padat karya negara berkembang yang “terlalu murah” tidak bebas beredar dan menjamah pasar-pasar di negara maju yang untuk selanjutnya menyaingi produk-produk dari negara maju. Walaupun dari sisi kualitas, produk tersebut tidak kalah dengan komoditas negara maju. Oleh karena itu negara maju berusaha mempengaruhi industri-industri negara berkembang melalui kebijakan-kebijakan pemerintah negara berkembang. Pengaruh itu antara lain mengenai kebijakan mengenai kondisi buruh, upah buruh maupun perlindungan terhadap lingkungan hidup. Implementasi dari pengaruh itu dalam dunia buruh adalah dengan “merekomendasikan” tingkat UMK/UMR di Indonesia, walaupun tidak secara langsung. Sehingga dengan begitu perindustrian negara berkembang dapat dikontrol. Dari sini dapat dipahami bahwa keterlibatan negara maju maupun dunia internasional sangat erat. Keterlibatan yang dapat memaksakan keinginan negara maju kepada negara berkembang. Salah satu alat paling “mujarab” untuk bisa memaksakan kehendak kepada negara berkembang adalah melalui kebijakan pemberian pinjaman dari IMF, CGI, maupun Bank Dunia. Dari penjabaran hubungan kausalitas tersebut maka wajar jika saatnya kita satu suara, “Tolak Utang Luar Negeri”.

Hambatan bagi negara berkembang untuk memasarkan produk-produknya di pasar Internasional tidak hanya berhenti sampai disini. Berbagai macam standardisasi diperkenalkan oleh negara maju lewat ISO, misalnya. Artinya, komoditas perdagangan produk negara berkembang yang ingin masuk pasar-pasar negara maju harus memenuhi aturan-aturan (mereka) yang telah ditetapkan. Itu semua dilakukan negara maju untuk memproteksi negara maju agar produk-produk negara berkembang tidak dengan mudahnya menyaingi produk-produk negara maju.

Konspirasi tersebut misalnya dapat dilihat dalam kesepakatan SPS (Sanitary and Phytosanitary) sebagai berikut : 1.) Amerika Serikat memberikan penalti dalam bentuk diskon harga secara otomatis untuk produk asal Indonesia seperti kakao, lada, udang dan jamur dengan alasan terkontaminasi serangga, salmonella, logam berat dan anti biotik. Disisi lain AS memaksakan produk CLQ (Chiken Leg Quarter)nya diterima oleh Indonesia yang disangsikan kehalalanya. 2.) Jepang menolak buah-buahan Indonesia dengan alasan terkontaminasi lalat buah. Selain itu, Jepang juga menolak masuknya pucuk tebu dengan alasan penyakit mulut dan kuku (PMK). 3.) Beberapa komoditas hortikultura dari Indonesia seperti pisang, pepaya dan jeruk mengalami pelarangan masuk ke pasar Taiwan dengan alasan ditemukan lalat buah yang tenyata tidak terdapat di Indonesia. (Deptan, 2001). Dari berbagai ketidak adilan perdagangan yang terjadi, salah satu hal yang mendesak untuk dilakukan adalah memperkuat kerjasama antar negara berkembang untuk secara bersama-sama berjuang untuk kepentingan rakyat negara berkembang dalam forum negosiasi dagang WTO. Bagaimanapun juga liberalisasi punya aturan main, dan kita dituntut untuk memperjuangkan kepentingan negara dalam forum negosiasi aturan main tersebut. Bukan hanya meng-amin-i setiap poin yang mereka tawarkan.

Disadari atau tidak kita telah banyak mengadopsi teori ekonomi negara barat. Di berbagai jenjang pendidikan materi-materi yang diberikan banyak berkiblat pada teori-teori neoklasik barat. Kita lebih mengenal teori ekonomi dari Adam Smith dan David Ricardo ketimbang teori ekonominya Karl Mark. Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan sedang menuju pada kemandirian dituntut untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa, termasuk ekonomi, sesuai Ideologi yang dipegang teguh yaitu Ekonomi Pancasila. System ekonomi kerakyatan yang sedang marak dibincangkan saat inipun sebenarnya merupakan subsistem dari teori ekonomi Pancasila yang mulai didengung-dengungkan sejak kemerdekaan. Dari sini dapat ditarik pengertian bahwa penyelesaian masalah yang sama antara negara satu dengan lainya memerlukan cara penyelesaian yang berbeda sesuai dengan ideologinya masing-masing melalui pendekatan moral dan kelembagaan yang ada di negara tersebut. Sehingga kita sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat tidak asal adopsi sistem maupun teori dari negara lain. Bukankah ada pepatah yang mengatakan, “ Rumput tetangga memang tampak lebih hijau”.




Tuesday, May 22, 2007

Mengurai Kasus Dana Bantuan DKP

Prastiyo

Baru-baru ini, kita dihebohkan oleh kasus penerimaan dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) ke sejumlah partai politik dalam pemilu 2004. Kasus ini mulai terkuak seiring dengan ditetapkannya mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rohmin Dahuri sebagai tersangka kasus korupsi di lembaga itu.

Adalah Amin Rais yang pertama terseret kasus ini. Amin Rais mengaku bahwa ia telah menerima bantuan dari Rohmin Dahuri sebesar Rp. 200 juta. Dana tersebut digunakan sebagai dana operasional dalam pemilu presiden 2004. Kasus ini pun tidak hanya berhenti sampai di situ. Selain Amin, ditengarai dana nonbujeter DKP itu juga masuk ke kantong sejumlah partai dan calon presiden peserta pemilu 2004.

Melihat kasus ini, di satu sisi kita sangat menyayangkan bahwa tindak pidana korupsi ternyata juga dilakukan oleh “orang bersih” seperti Amin Rais. Di sisi lain, kita sangat menghargai kejujuran, dan sikap tanpa tedeng aling-aling yang dilakukan oleh Amin Rais. Di tengah aroma kemunafikan dan kobohongan yang dilakukan oleh sejumlah pemimpin, hal seperti ini dapat dijadikan teladan. Mungkin, berangkat dari transparansi seperti itulah kasus korupsi dapat mudah di lacak.

Belum selesai kasus ini, baru-baru ini Amin Rais menyatakan bahwa di antara calon presiden dalam pemilu 2004 telah menerima dana bantuan dari pihak asing. Pernyataan Amin tersebut tidak kalah menghebohkan. Tentunya, pernyataan itu dibuat dengan satu alasan yang kuat. Dengan kata lain, Amin tidak hanya ingin tebar pesona atau sebagai ritual pembersihan diri. Orang sekaliber Amin Rais pasti mempunyai argumentasi dan bukti-bukti kuat berkaitan dengan dana bantuan asing itu.

Jika pernyataan itu benar, maka celakalah negeri ini. Seperti kita ketahui, dana bantuan asing tidak serta merta diberikan secara gratis. Menurut John Perkins, utang yang diberikan kepada individu atau negara tertentu, mempunyai efek jangka panjang yang sangat merugikan. Efek tersebut berkaitan dengan intervensi kebijakan-kebijakan luar negeri (neoliberalisme) ke dalam berbagai kebijakan dalam negeri negara pengutang. Dus, andaikan penerima bantuan asing dalam kampanye presiden 2004 tersebut berhasil memenangkan pemilu, maka negara ini sesungguhnya sedang dijerat oleh kepentingan asing.

Maka, agar rakyat tidak saling bertanya dan berasumsi macam-macam, kasus ini harus dituntaskan. Pengadilan harus menelusuri aliran dana nonbujeter DKP yang masuk ke kantong partai politik dan calon presiden dalam pemilu 2004. Selain itu, dana bantuan asing yang ditengarai masuk ke salah satu calon presiden juga harus ditelusuri kebenarannya.

Dengan semangat anti-KKN, pemerintah harus membuka ruang selebar-lebarnya untuk mengurai kasus ini sampai tuntas. KPK, Pengadilan, KPU, Panwaslu, serta PPATK harus saling bekerja sama untuk menelusuri dan menuntaskan kasus dana bantuan baik nonbujeter maupun bantuan asing untuk partai dan politisi. Hal ini penting dilakukan karena tidak menutup kemungkinan kejadian serupa dapat terulang di pemilu 2009 nanti.[]

Sunday, May 20, 2007

REFORMASI DAN CITA-CITA KESEJAHTERAAN RAKYAT

PRASTIYO

Reformasi Indonesia sudah berjalan sembilan tahun. Reformasi tersebut terkait erat dengan berakhirnya kekuasaan rezim Orde Baru dan munculnya rezim demokrasi, yang secara formal ditandai dengan terselenggaranya pemilu demokratis 1999.

Seperti kita ketahui, gerakan reformasi 1998 menuntut empat prioritas utama yakni; perbaikan ekonomi, perbaikan tata pemerintahan, penegakan supremasi hukum, dan demokrasi. Singkatnya, masyarakat menginginkan Indonesia yang makmur, bersih dari KKN, taat hukum dan demokratis. Setelah sembilan tahun, sejauh mana cita-cita tersebut terealisasi?

Sejak Presiden Habibie berkuasa dan hingga sekarang, kita dapat merasakan segarnya kebebasan berpolitik dan berekspresi (berdemokrasi). Selain itu, pemerintahan reformasi juga berhasil meredam berbagai konflik horizontal dan disintegrasi bangsa, mengubah sistem pemerintahan sentralisasi ke disentralisasi (otonomi daerah), mengawal proses penegakan hukum dan pemberantasan KKN, serta berupaya menciptakan good and clean government. Singkatnya, pemerintah telah berusaha mengupayakan merealisasikan demokrasi, penegakan hukum, serta perbaikan tata pemerintahan.

Bagaimana nasib kesejahteraan rakyat? Jika kita cermati kondisi umum masyarakat, nampaknya cita-cita perbaikan ekonomi masih jauh panggang dari api. Padahal, perbaikan ekonomi seharusnya menjadi prioritas utama, setelah fase penguatan civil society, pelembagaan masyarakat politik, pengutamaan hukum dan pengefektifan birokrasi. Artinya, ketika ide demokrasi telah diimplementasikan, tugas selanjutnya adalah menyejahterakan rakyat.

Sayangnya, upaya perbaikan ekonomi rakyat masih berada di peringkat terakhir. Sejak reformasi digulirkan, kondisi ekonomi rakyat justru bertambah buruk. Hingga kini, kemiskinan, pengangguran, putus sekolah, buta huruf, gizi buruk, serta kelaparan masih menjangkiti masyarakat kita. Menurut data BPS (2007), jumlah penduduk miskin tahun 2007 mencapai 45,7 juta jiwa. Sedangkan, jumlah pengangguran terbuka tahun ini tercatat sebanyak 12,7 juta jiwa. Hal tersebut dapat menjadi indikator bahwa pemerintah belum sungguh-sungguh memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Lalu, apa artinya itu semua? Kemerdekaan berpolitik, usaha penegakan hukum, dan liberalisasi ekonomi yang ditempuh pemerintahan reformasi ternyata belum menghasilkan masyarakat sejahtera. Kegagalan ini dikarenakan kita masih asyik menikmati dan memperpanjang transisi, serta menyerahkan pemaknaan dan realisasi kesejahteraan ekonomi pada teknokrat yang menjauhi rakyat.

Untuk itu, reformasi bidang ekonomi harus menjadi perhatian utama. Demokrasi harus dijalankan oleh para demokrat sejati, agar cita-cita kesejahteraan dapat segera terwujud. Dua hal ini melengkapi tuntutan masyarakat tentang perlunya transparansi dan pertanggungjawaban institusi negara pada cita-cita bersama. Dus, tugas utama institusi ekonomi pemerintah adalah melayani, melindungi dan mendorong publik sehingga dapat memberikan rasa aman bertransaksi, berproduksi, berinvestasi dan menciptakan terminus ad quem (waktu untuk menyelesaikan problem rakyat).(®)

Sunday, May 13, 2007

Sabtu, 12 May 2007

Gue bangun pagi-pagi. Tanpa mandi, gw cabut ke Blok M untuk transfer duitnya om. Udah gitu nongkrong di TIM karena kebetulan ada acara "Reuni dan Silaturahmi Eksponen 98." Gue asyik ngikutin diskusi sambil liat foto-foto perjuangan reformasi 98'. Temanya sih ngeri: Mengagas Ulang Metode Perubahan. Gue kira diskusi itu bakal libatin kita semua, anak muda di bawah angkatan 98. Tapi, gue gak tahu kenapa mereka justru asyik diskusi, debat serta menelanjangi kesalahan dan kealpaan mereka. Tadinya gue BT. Tapi, setelah dipikir ada benarnya juga. Okelah, mereka para pejuang reformasi yang harus kita apresiasi. Tapi mereka juga punya dosa besar!. Kenapa? Pikirku, tugas setelah mendobrak tiran yang otoriter adalah menyediakan kepemimpinan muda yang karnal. Yang muda, berdedikasi, bermoral kerakyatan, dan punya kemampuan untuk memperbaiki bangsa ini. Tapi, angkatan 98 nyatanya tidak PD! Mereka justru terpecah dan gagal dalam menemukan perubahan mendasar. Mereka seolah-olah telah memberi "tiket gratis" kepada partai politik untuk mengemban amanah reformasi. Padahal, jelas-jelas partai politik lebih culas dan genit kekuasaan, dari pada memerhatikan rakyat. Dalam bahasa Kompas, partai-partai di Indonesia tidak lebih dari partai "Janus." Hak angket impor beras tandas, interpelasi gagal, apalagi....? Malah mereka memainkan drama reshuffle kabinet untuk pembagian kekuasaan. Masya'allah...

Lalu apa yang akan dilakukan gerakan mahasiswa dalam kondisi seperti ini? bersambung...

Friday, 4 May 07'
I like Friday. Pagi2 Q cuci baju, yang sempat terlantar hampir 2 minggu, jorok yah! Abis shalat Jum'at Q kembali edit buku Sabri Saiman. Lumayan, udah nyampe bab 3. Jam 3 Q jalan ama temen sekelas untuk ikut pelatihan jurnalistik. Wah, pesertanya banyak banget. Wajah lamanya cuman Gw. Yg laen anak2 baru smua. Namun tak apa. Q seneng bisa kumpul ma anak2 yg suka nulis. Selesai jam 17.30. Udah gitu Q jalan ke kampus. Mata kuliah hari ini Politik Luar Negeri Asia Tenggara. Rencana sih pengen bahas ttg rencana mata uang kolektif di Asia: Dirham! Rencana ini ditujukan untuk menyaingi Uero dan Dollar. Tapi, 5 menit Q ikut kuliah kemudian bubar. Sayang banget. Abis magrib Q buru2 jalan ke Paramadina University untuk bedah buku dan ultahnya Om M. Dawam Raharjo. Wah, disitu banyak bgt intelektual2 indonesia, mulai dari yg tua seperti Facri Ali, Ulil, Daniel Dhakidai, Syafi'i Maarif, dst. Mereka saling beromantisme dg masa lalu, di mana mereka sepertinya menikmati sejengkal demi sejengkal langkah/berproses menjadi intelektual. Q tergugah. Q kembali semangat untk terus belajar agar bisa menyaingi mereka!. Selesai jam 9. Perjalanan kemudian Q teruskan ke Cipete: ngambil buku di rumahnya Vera Febianty, anggota DPR. Trus Q mampir bentar ke NC dan pulang. Pe rumah udah jam setengah 12. Temen Q ga bukain pintu, sebel. trus Q jalan aja ke tmpt Om di Rawamangun. Oyah, hari ini juga ada kabar buruk. Kakek Q masuk RS karena Typus. Tapi syukur, kata keluargaku hanya akan dirawat beberapa minggu saja. sekarang Q mo ngenet pe pagi ah, mumpung gratis! besok semoga lebih baik dari hari ini. AMin...