SUDUT GELAP GLOBALISASI
Prastiyo
Jika kita mendengar istilah globalisasi, yang terbayang dalam pikiran kita mungkin adalah sebuah system yang mengatur ekonomi dunia tanpa mengenal batas-batas Negara (bordeless world). Sehingga dimungkinkan adanya pertukaran modal, tenaga kerja, maupun komoditas-komoditas berupa barang dan jasa antar negara secara bebas dengan tarif 0%. Itu adalah bagian dari globalisasi. System ini benar-benar memberikan kekuasaan pada mekanisme pasar. Proteksi negara untuk berbagai sektor-sektor ekonomi sedikit demi sedikit mulai dikurangi. Madeley dan Solagral (2001) memberikan pengertian mengenai liberalisasi perdagangan ini, yaitu proses pengurangan dan pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif dan non tarif secara sistematis antar negara sebagai mitra dagang.
Melihat fenomena system ekonomi di atas, kita dapat mengetahui adanya kesamaan dengan system ekonomi yang diterapkan di negara-negara barat, yaitu system ekonomi liberalisme. Yaitu system ekonomi yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada individu untuk berusaha dan sekaligus meminimalkan peran pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Paham ini percaya bahwa kemakmuran negara akan terwujud bila masing-masing individu dalam negara tersebut juga makmur dengan memberikan kebebasan berusaha yang seluas-luasnya kepada warga negaranya. Dari keterkaitan itu dapat dipahami jika ide globalisasi digulirkan dan benar-benar diperjuangkan oleh negara-negara barat. Sebab, globalisasi secara ekonomi sangat menguntungkan mereka. Investasi mereka tidak akan terhambat oleh tarif dan non tarif ekspor impor komoditas perdagangan. Dan ini terbukti sangat efisien. Namun lain halnya dengan negara berkembang, dengan masuknya barang-barang dari negara maju, pada tingkat tertentu akan menyaingi dan bahkan mematikan produksi barang-barang dari negara berkembang, yang notabene masih diproduksi secara tradisional dengan manajemen yang sederhana. Ini adalah salah satu dampak nyata dari globalisasi/liberalisasi. Walaupun dalam perkembanganya, semua negara, termasuk negara berkembang, ikut meng-amin-i ide globalisasi ini.
Bagaimanapun juga tantangan globalisasi tidak hanya menjadi momok bagi negara berkembang saja tetapi negara maju juga mengalami ketakutan yang sama. Negara maju menginginkan tekhnologi dan barang-barang yang dihasilkanya tidak terhambat untuk menjamah pasar-pasar negara berkembang, tetapi sekaligus berusaha keras menghambat agar produk-produk dari hasil industri padat karya negara berkembang yang “terlalu murah” tidak bebas beredar dan menjamah pasar-pasar di negara maju yang untuk selanjutnya menyaingi produk-produk dari negara maju. Walaupun dari sisi kualitas, produk tersebut tidak kalah dengan komoditas negara maju. Oleh karena itu negara maju berusaha mempengaruhi industri-industri negara berkembang melalui kebijakan-kebijakan pemerintah negara berkembang. Pengaruh itu antara lain mengenai kebijakan mengenai kondisi buruh, upah buruh maupun perlindungan terhadap lingkungan hidup. Implementasi dari pengaruh itu dalam dunia buruh adalah dengan “merekomendasikan” tingkat UMK/UMR di Indonesia, walaupun tidak secara langsung. Sehingga dengan begitu perindustrian negara berkembang dapat dikontrol. Dari sini dapat dipahami bahwa keterlibatan negara maju maupun dunia internasional sangat erat. Keterlibatan yang dapat memaksakan keinginan negara maju kepada negara berkembang. Salah satu alat paling “mujarab” untuk bisa memaksakan kehendak kepada negara berkembang adalah melalui kebijakan pemberian pinjaman dari IMF, CGI, maupun Bank Dunia. Dari penjabaran hubungan kausalitas tersebut maka wajar jika saatnya kita satu suara, “Tolak Utang Luar Negeri”.
Hambatan bagi negara berkembang untuk memasarkan produk-produknya di pasar Internasional tidak hanya berhenti sampai disini. Berbagai macam standardisasi diperkenalkan oleh negara maju lewat ISO, misalnya. Artinya, komoditas perdagangan produk negara berkembang yang ingin masuk pasar-pasar negara maju harus memenuhi aturan-aturan (mereka) yang telah ditetapkan. Itu semua dilakukan negara maju untuk memproteksi negara maju agar produk-produk negara berkembang tidak dengan mudahnya menyaingi produk-produk negara maju.
Konspirasi tersebut misalnya dapat dilihat dalam kesepakatan SPS (Sanitary and Phytosanitary) sebagai berikut : 1.) Amerika Serikat memberikan penalti dalam bentuk diskon harga secara otomatis untuk produk asal
Disadari atau tidak kita telah banyak mengadopsi teori ekonomi negara barat. Di berbagai jenjang pendidikan materi-materi yang diberikan banyak berkiblat pada teori-teori neoklasik barat. Kita lebih mengenal teori ekonomi dari Adam Smith dan David Ricardo ketimbang teori ekonominya Karl Mark.
No comments:
Post a Comment