Friday, May 25, 2007

Gerakan Kaum Muda

From Social Movement To Political Movement

Pemuda Haus Revolusi

Di mana dan apa sejatinya yang harus dilakukan oleh kaum muda di tengah munculnya distrust society dan keputusasaan terhadap kaum tua yang diangap tidak mampu menyelesaikan krisis bangsa ini? Dan, apakah gerakan kaum muda itu gerakan harus memilih ‘moral’ atau ‘politik’? Adalah dua pertanyaan yang menyiratkan kekaburan pandangan kita tentang moralitas dan politik. Dalam penghadapan kedua istilah tersebut terkesan (seolah-olah) bahwa gerakan politik tidak mengandung muatan moral, sementara gerakan moral tak mengandung muatan politik.

Sejatinya, politik adalah suatu karsa untuk menegakkan moralitas dan rasionalitas publik. Tindakan berpolitik, menurut Hannah Arendt (1973), merupakan salah satu human condition yang berbasis aksi bersama dalam memperjuangkan kepentingan secara berkeadaban (civic). “Menjadi warga politik,” tulis Arendt, “berarti hidup di dalam suatu polis, tempat segala sesuatu diselesaikan lewat argumentasi dan persuasi, bukan lewat kekerasan dan paksaan.” Di dalam tradisi Yunani, memaksa orang lewat kekerasan, kebiasaan mengomando ketimbang membujuk, dinilai sebagai cara-cara pra-politik, yang dinisbatkan kepada karakterisitik orang-orang yang hidup di luar polis. Kata politik, dengan demikian, menyiratkan kehidupan ideal yang diimpikan. Bila saat ini politik menjadi kata yang berlumuran caci maki dan terkesan hampa moralitas, pastilah ada yang tak beres dalam sejarah kehidupan politik kita.

Jika politik mengandung moral imperatives, maka perjuangan moral--kebenaran, keadilan dan rasio (meminjam Julien Benda), sebagaimana bentuk-bentuk perjuangan lainnya, selalu mengandung relasi-relasi kuasa tertentu. Dan setiap bentuk relasi kuasa, secara tak terhindarkan, memiliki dimensi dan esensi politiknya tersendiri. Pada kenyataannya, moralitas bukanlah kualitas-kualitas ideal-abstrak yang bersifat transendental, melainkan sesuatu yang lebih nyata (worldly) yang mesti diperjuangkan. Meminjam ungkapan Foucault (1979: 46), “Truth is of the world; it is produced there by virtue of multiple constrains…Each society has its regime of truth, it is ‘general politics’ of truth…” Dengan kata lain, sekali klaim moralitas diperjuangkan, bahkan untuk tujuan-tujuan non-politik selalu mengandung “pertarungan-pertarungan kuasanya tersendiri”. Oleh karena itu, tak terelakkan penjelmaannya menjadi gerakan politik.

Tentu saja ada bermacam bentuk gerakan politik. Bisa berbentuk partai politik, kelompok kepentingan (interest group), bisajuga dalam bentuk ‘gerakan sosial’ (social movement). Ekpresi politik dari partai politik lebih menekankan penguasaan sumberdaya kekuasaan dengan dukungan sistem pengorganisasian yang terpusat dan hierarkhis. Interest group lebih berorientasi pada upaya mempengaruhi kebijakan publik melalui serangkaian lobby dan kerjasama non-formal dengan para pengambil keputusan. Sedang social movement lebih beorientasi pada upaya memperjuangkan agenda-agenda sosial tertentu dengan cara-cara mobilisasi yang kurang terstruktur dan cara artikulasi yang tidak baku.

Gerakan kaum muda lebih sering menunjukkan karakteristik sebagai ‘gerakan sosial’ (social movement). Menurut Donatella della Porta dan Mario Diani (1999), akademisi dari pelbagai latar teritorial dan teoritis berbagi pemahaman yang sama mengenai karakteristik social movement, setidaknya menyangkut empat hal.

Pertama, aksi bersamanya merupakan hasil dari jaringan interaksi informal, yang melibatkan keragaman individu, kelompok dan/atau organisasi. Suatu jaringan yang sanggup mempromosikan kerangka interpretasi (systems of meaning) serta ‘sirkulasi suberdaya-sumberdaya esensial’ bagi aksi bersama. Kedua, adanya solidaritas dan keyakinan yang sama, sebagai sumber dari kehendak dan identitas bersama.

Ketiga, gerakan sosial menceburkan diri pada situasi konflik, baik konflik sosial, politik, ekonomi maupun kultural. Dengan konflik yang dimaksud adalah hubungan oposisional antar aktor-aktor politik yang berusaha mengontrol hal (stake) yang sama.

Keempat, gerakan sosial mengadopsi pola-pola ekspresi politik yang tak lazim (unusual). Berbeda dari ekspresi partai politik yang terstruktur, artikulasi kolektif dari social movement penuh improvisasi melampaui batas-batas konvensional.

Sebagai tambahan, berdasarkan studi Eyerman dan Jamison (1991: 56) menemukan pola perkembangan gerakan sosial sebagai berikut: Pertama, gerakan sosial tumbuh melalui semacam siklus hidup (life cycle), dari tahap persiapan (gestation), disusul oleh tahap pembentukan (formation), menuju tahap konsolidasi (consolidation). Gerakan sosial jarang muncul secara spontan; tetapi memerlukan jangka waktu persiapan. Kedua, tidak ada gerakan sosial yang berhasil tanpa tersedianya ‘kesempatan politik’ (political opportunity), konteks ketertampungan masalah-masalah sosial serta konteks komunikasi yang membuka kemungkinan bagi artikulasi masalah dan penyebarluasan gagasan. Ketiga, gerakan sosial tidak dapat hadir hingga adanya individu-individu yang siap ambil bagian di dalamnya, bersedia mentransformasikan masalah pribadi menjadi masalah publik, serta mau terlibat dalam proses pembentukan identitas kolektif.

Berdasarkan tatapan teoretis di atas, ada beberapa hal yang perlu ditekankan. Di dalam spasi ‘gerakan sosial’, aktor dengan pelbagai latar identitas dan orientasi bersedia berbagi sistem keyakinan dan kehendak bersama melampuai batas (keyakinan dan kepentingan) masing-masing kelompok/organisasi, sambil tetap mempertahankan perbedaan dan kekhasan perangai masing-masing. Dengan kata lain, partisipasi dan otonomi merupakan hal yang esensial dari keberlangsungan gerakan sosial. Salah satu karakteristiknya adalah perasaan terlibat dalam proyek bersama—tanpa secara otomatis menjadi bagian dari suatu organisasi secara terstruktur. Suatu gerakan sosial akan lekas luluh manakala ada pemusatan suara, atau salah satu sektor dari gerakan menjadi terlalu dominan, mengangkangi keragaman artikulasi dan posisi subjek dalam gerakan sosial.

Dalam kaitan dengan pentingnya ketersediaan struktur kesempatan politik (political opportunity structure), studi komparatif yang dilakukan della Porta dan Diani (1999) menunjukkan perlunya kerjasama strategis antara aksi dan aktor gerakan sosial dengan aktor-aktor kelembagaan politik formal. Lebih lanjut dikatakan, keberhasilan suatu gerakan sosial ada kaitannya dengan faktor-faktor ketersediaan aliansi yang berpengaruh, toleransi bagi protes di kalangan elit, derajat keterbukaan atau ketertutupan akses politik formal, derajat stabilitas atau instabilitas aliansi politik, ketersediaan potensi kerjasama strategis, serta konflik politik di antara dan di dalam elit.

Di dalam konteks masyarakat plural yang ditandai oleh kelangkaan ‘kehendak bersama’ (common will), tentu saja ada banyak sistem keyakinan, sistem identitas dan multiple-aliansi, yang menyediakan tanah subur bagi kemungkinan terjadinya polarisasi (antar ‘gugus identitas’) maupun fragmentasi (di dalam suatu ‘gugus identitas’) gerakan sosial. Dalam konteks Indonesia, keterpecahan dan bentrokan identitas itu diperparah oleh ketidakhadiran negara sebagai the essential outsider yang mampu mengambil jarak yang sama terhadap semua gugus identitas. Problem mendasar dari politik Indonesia sesungguhnya adalah keberlangsungan negara pasca-kolonial yang tidak tegak atas dasar prinsip-prinsip supremasi hukum, serta tidak sanggup memberikan perlindungan keamanan dan keadilan bagi segenap elemen kebangsaan dan seluruh tumpah darah Indonesia. Di dalam ketiadaan kepastian hukum, perlindunan keamanan dan keadilan, orang lebih nyaman berlindung di balik warga-tribus (paguyuban komunal dan premanisme) ketimbang warga negara (citizen). Dalam lemahnya formasi kewarga-negaraan (citizenship), gerakan kaum muda pun terjebak ke dalam bentrokan identitas seperti dialami oleh para intelektual terdahulu. Meminjam pandangan Edward Shils (1972):

“Meskipun intelektual di negara-negara pasca kolonial telah memiliki ide kebangsaan di dalam negerinya sendiri, mereka toh belum berhasil menciptakan sebuah bangsa. Malahan, mereka menjadi korban idenya sendiri, ketika nasionalisme tidak mengarah pada perwujudan kewarga-negaraan (citizenship). Keanggotaan dalam suatu bangsa memerlukan rasa pertautan dengan orang-orang lain yang sama-sama membentuk bangsa. Hal ini juga memerlukan rasa kemitraan, dan kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, melunakkan dan menyerahkannya secara toleran terhadap tertib sipil, menganggap hal itu sebagai kurang signifikan ketimbang kepentingan komunitas bangsa secara keseluruhan. Dalam kehidupan politik, watak serupa itu membentuk apa yang disebut sebagai ‘kebajikan sivilitas’ (the virtue of civility).”

Sayang sekali, kebajikan seperti itu bukan merupakan gambaran umum dari kaum intelligentsia-politik di negara-negara tersebut. Yang berkembang di sini adalah suatu kecenderungan ‘padat politisasi’ (intense politicization) yang disertai oleh keyakinan bahwa hanya mereka yang memiliki kesamaan prinsip dan posisilah yang dianggap sebagai anggota absah suatu masyarakat politik (polity). Sedangkan bagi mereka yang berbeda, dikucilkan oleh curam hambatan yang terjal.

Dalam kecenderungan untuk melakukan proses ‘othering’ terhadap identitas yang berbeda, suatu peleburan menjadi suatu historical bloc, yang mempertautkan pelbagai ensemble gugus identitas ke dalam front bersama, hanya dimungkinkan jika terdapat common enemy dan tersedianya kepemimpinan moral and intelektual (hegemony).

Jika terbentukanya hegemony dan historical bloc merupakan respon serempak atas suatu krisis sosial yang akut, sebagai akibat “retaknya lingkungan sosial serta meruyaknya ketidakpastian di dalam suatu situasi sejarah yang genting” (the fracture of the social sphere and the irruption of contingency within category of ‘historical necessity’), maka social movement merupakan gerakan politik yang tumbuh subur di masa krisis. Krisis yang dimaksud di sini, seperti dilukiskan oleh Gramsci (1971: 267), adalah suatu situasi ketika “yang lama tengah sekarat, yang baru tak kunjung lahir”. Dalam situasi anomie seperti itu, aksi kolektif yang tidak terstruktur, seperti dalam bentuk social movement, menyediakan tumpuan alternatif bagi aksi dan solidaritas kolektif. Kehadiran suatu gerakan sosial dalam konteks ini memiliki makna ganda: di satu sisi, merefleksikan ketidakmampuan kelembagaan dan mekanisme kontrol sosial dalam upaya mereproduksi kohesi sosial; di sisi lain, mencerminkan usaha masyarakat untuk bereaksi terhadap situasi-situasi krisis melalui penumbuhan keyakinan dan identitas bersama, sebagai tumpuan bagi solidaritas kolektif.

Peran social movement pada umumnya cenderung surut seiring dengan makin berfungsinya kelembagaan politik formal. Pengalaman negara-negara Eropa Selatan dan Amerika Latin dalam melewati masa transisi menuju demokratisasi, menunjukkan meredupnya kekuatan social movement ketika partai-partai politik dan kelembagaan negara lainnya mampu mengambil alih dan menjalankan agenda-agenda demokratisasi. Itu berarti, hiruk-pikuk aksi mahasiswa Indonesia tampaknya masih akan mewarnai jagad politik nasional, selama kelembagaan politik formal tidak menunjukkan itikad yang sungguh-sungguh serta kesanggupan untuk memperjuangkan agenda-agenda reformasi. Dan dari sini pula, kita kaum muda harus mempertajam reformasi menjadi revolusi. Bravo gerakan kaum muda.[]

No comments: